Product ...
www.flickr.com
This is a Flickr badge showing public photos from sartono_icmi. Make your own badge here.

Massage


Free chat widget @ ShoutMix

Other things ...

<$BlogDateHeaderDate$>
Satrawan Klasik
Sumber Republika, Rabu, 20 Februari 2008

Warisan Sastrawan Arab Klasik Terkemuka

Abu Nuwas adalah salah seorang sastrawan Arab terbesar. Pengaruhnya begitu besar di jagad sastra. Omar Kayam dan Hafiz - dua sastrawan Islam kondang juga banyak mendapat pengaruh dari Abu Nuwas. Namanya semakin populer lantaran karikatur Abu Nuwas dalam legenda 1001 Malam. Dalam budaya Swahili di Afrika Timur, nama Abu Nuwas juga begitu populer sebagai 'Abunuwasi'.

Karya-karya puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Beberapa di antaranya adalah O Tribe That Loves Boys yang dialihbahasakan oleh Hakim Bey dan diterbitkan Entimos Press pada 1993.

Jaafar Abu Tarab juga telah menerjemahkan karya Abu Nawas dalam Carousing With Gazelles. Kegan Paul juga telah menerjemahkan Poems of Wine and Revelry: The Khamriyyat of Abu Nuwas. Secara khusus kiprah dan karya Abu Nuwas juga mendapat perhatian para penulis Barat. Philip F Kennedy, misalnya, secara khusus menulis The Wine Song in Classical Arabic Poetry: Abu Nuwas and the Literary Tradition, yang diterbitkan, Open University Press tahun 1997. Penerbit OneWorld Press pada 2005 juga menerbitkan buku karya Philip Kennedy yang berjudul Abu Nuwas: A Genius of Poetry. hri
( )



Rabu, 20 Februari 2008

Sang Penyair Khamar yang Bertobat



Penyair khamar. Begitu Abu Nuwas dijuluki sebagian orang, karena dia mengangkat minuman haram sebagai tema puisinya. Dalam puisi khumrayat, ia menggambarkan kelezatan dan keburukannya, pemerasan, pengolahan, rasa, warna, dan baunya hingga para peminumnya. Menurutnya, khamar dapat menenangkan hatinya yang gundah.

Abu Nuwas juga sempat dituding sebagai penyair zindik atau pendosa besar gara-gara puisinya yang bertema mujuniyat -- yang sering dianggap melampaui batas kesopanan dan merendahkan ajaran agama. Tak pernah ada kata terlambat untuk bertaubat. Itulah salah satu pelajaran penting yang diajarkan Abu Nuwas.

Masa mudanya memang diwarnai dengan gaya hidup yang berbau maksiat. Namun di masa tuanya, Abu Nuwas berubah menjadi seorang sufi. Penyesalan dan pertobatannya dia ungkapkan lewat puisi-puisinya yang bertema zuhdiyat (kehidupan zuhud). Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, di akhir hayat Abu Nawas mengisi kehidupannya dengan ibadah.

Simaklah puisi pertobatan yang ditulisnya: ''Tuhan, Jika dosaku semakin membesar, sungguh aku tahu ampunanmu jauh lebih besar. Jika hanya orang-orang baik yang berseru kepada-Mu, lantas kepada siapa seorang pendosa harus mengadu?
'' Secara umum, puisi dan syair yang ditulisnya terdiri dari beberapa tema. Ada yang bertema pujian (madah), satire (hija'), zuhud (zuhdiyat), bahaya minum khamar (khumriyat), cinta (hazaliyat), serta canda (mujuniyah). Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang telah dicetak dalam berbagai bahasa.

Ada yang diterbitkan di Wina, Austria (1885), di Greifswald (1861), cetakan litrografi di Kairo, Mesir (1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), Bombay, India (1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul. Pada tahun 1855, kumpulan puisinya diedit oleh A Von Kremer dengan judul Diwans des Abu Nowas des Grosten Lyrischen Dichters der Araber.

Ketokohan figur Abu Nawas ternyata tak hanya diakui umat Islam, namun juga oleh orang-orang Barat. Mereka memandang karya-karya Abu Nuwas adalah sebuah kekayaan peradaban dunia dari abad pertengahan yang begitu berharga. Sayangnya, umat Islam terkadang tak menyadarinya bisa pula tak mengetahuinya sama sekali. hri
( )




Read more!-Read more
Kosovo
Sumber ; Republika, Senin, 25 Februari 2008

Kosovo Kembalinya Bangsa yang Hilang

Pada 1918, tentara Serbia balas dendam. Tentara Serbia membantai wanita, anak-anak, dan menghancurkan rumah penduduk Kosovo

Dunia kembali menorehkan sejarah baru. Ahad, 17 Februari 2008, seluruh bangsa di dunia menjadi saksi lahirnya negara Muslim pertama di benua Eropa bernama Kosovo. Pejuangan Muslim Kosovo yang berliku nan terjal - penuh airmata dan darah -- itu akhirnya berbuah kedaulatan dan kemerdekaan. Dunia pun menyambut kehadiran negara Muslim itu.



Lalu bagaimanakah Islam menancapkan pengaruhnya di Kosovo hingga mampu bertahan sampai sekarang? Sejarah mencatat, jejak peradaban di Kosovo telah ditemukan sejak ribuan tahun lalu. Masyarakat Kosovo kuno dikenal dengan sebutan Dardania. Sumber-sumber sejarah menyebutkan, Kerjaaan Dardania telah berdiri di awal abad ke-4 SM.

Sejarawan Roma dan Yunani melukiskan, masyarakat Kosovo pada era itu adalah para pekerja keras, murah hati, dan memiliki peradaban yang sudah maju. Raja Longarus, Monunius, dan Bato merupakan penguasa Dardania terkemuka yang kerap berperang dengan bangsa Macedonia. Kerajaan itu pun seringkali memenangkan pertempuran.

Wilayah Dardania atau Kosovo begitu menggiurkan, lantaran kaya akan sumber emas. Tulisan-tulisan kuno menggambarkan Dardania sebagai sentra produsen perhiasan. Tak heran, bila kemudian wilayah itu selalu menjadi incaran. Imperium Romawi menaklukkan wilayah itu pada akhir abad ke-1 SM. Pada masa kekuasaan Kaisar Aleksander Agung, agama Kristen mulai menyebar dan mengakar.

Ketika bangsa Barbar melakukan invasi antara abad ke-5 M hingga ke-8 M, Dardania justru menjadi `surga' yang aman bagi perkembangan bahasa dan budaya Illyrian - warisan Romawi. Konstelasi kekuasaan di Dardania kembali berubah antara abad ke-9 hingga abad ke-11. Pada saat itu, dominasi Kekaisaran Byzamtium diambil alih Kerajaan Bulgaria dan tak lama kemudian berpindah lagi ke pelukan Byzamtium.

Pada tahun 1190 M, bangsa Serbia di bawah kekuasaan Dinasti Nemanjic menginvansi Kosovo dan menguasai wilayah itu hampir selama dua abad. Kekuasaan Serbia atas Kosovo berakhir ketika pasukan tentara Kerajaan Usmani atau Ottoman Turki melebarkan sayap kekuasaannya ke wilayah Tenggara Eropa pada 1389 M.

Dalam Perang Kosovo Polje, koalisi tentara Kristen termasuk etnis Albania, Bosnia dan Hunggaria yang dipimpin pangeran Serbia, Lazar Hrebljanovic, tak mampu membendung gempuran Kerjaan Usmani. Mulai 1455 M, Dinasti Usmani secara resmi menguasai wilayah Kosovo. Kehadiran Kerajaan Usmani telah membawa Kosovo menjuu era baru.

Seiring jatuhnya Kosovo ke tangan Dinasti Usmani, etnis Albania yang menyingkir dari tanah kelahirannya ketika Serbia berkuasa kembali pulang ke Kosovo. Selama masa itu, kebanyakan orang Albania masih menganut Kristen. Di bawah kekuasaan Usmani Turki, orang Albania dan Serbia yang tinggal di Kosovo bisa hidup berdampingan. Beberapa penguasa Serbia di Kosovo pun diberi kesempatan untuk tetap berkuasa di Kosovo namun berada di bawah Sultan Ottoman.

Perlahan tapi pasti, hampir dua per tiga orang Albania mulai tertarik untuk memeluk agama Islam. Orang Serbia pun banyak juga yang berpindah keyakinan dan menjadikan Islam sebagai agamanya. Namun, sebagian besar orang Serbia tetap berkukuh menjalankan agamanya. Kerajaan Usmani Turki pun tak pernah memaksa penganut agama lain untuk masuk Islam.

Umat Kristen Serbia dan Yahudi dilindungi kehidupannya sebagai 'ahli kitab'. Mereka berstatus sebagai dhimmi. Tak ada pembantaian yang dilakukan umat Islam terhadap penganut Kristen dan Yahudi. Saat itu, hukum Syariah ditegakkan di bumi Kosovo.

Para penganut Kristen dan Yahudi tetap memiliki hak kepemilikan, namun diharuskan membayar pajak. Akhir abad ke-17, orang Serbia secara besar-besaran meninggalkan Kosovo, seiring dengan kemenangan demi kemenangan yang dicapai tentara Kerajaan Usmani. Sehingga, 'pusat gravitasi' Serbia beralih ke wilayah Utara, yakni Belgrade. Peristiwa itu dikenal sebagai great migration.

Keberhasilan Kerajaan Ottoman Turki menaklukkan Kosovo merupakan sebuah pencapai yang besar. Apalagi, wilayah itu kaya akan sumberdaya mineral. Tak heran, bila Kosovo menjadi aset penting bagi kesultanan Turki. Selama periode Ottoman, ada upaya yang begitu gencar untuk mempromosikan budaya dan bahasa Albania.

Gerakan anti-Usmani mulai mucul di Kosovo pada 1689 di bawah pimpinan uskup Katolik, Pjet‰r Bogdani. Ia mengumpulkan 20 ribu tentara untuk membantu Austria menggempur Turki. Seiring dengan kekalahan yang dialami Kerajaan Usmani dalam Perang Russo-Ottoman pada 1878, Serbia menguasai Mitrovica dan Pristina di Kosovo.

Pada 1912, meletus Perang Balkan I. Albania digempur oleh tentara koalisi Montenegro, Serbia, Bulgaria dan Yunani. Etnis Albania bersekutu dengan Kerajaan Usmani. Namun, kekuatan musuh lebih kuat, sehingga peerangan dimenangkan pasukan koalisi Serbia. Saat itu, penduduk Kosovo yang kebanyakan etnis Albania melarikan diri ke pegunungan.

Tentara Serbia menghancurkan rumah orang-orang Turki dan Albania. Mereka menjarah membunuh. Kosovo pun akhirnya jatuh kembali ke tangan Serbia. Pada Konfrensi Duta Besar di London tahun 1912, Inggris memberi kedaulatan kepada Serbia untuk menguasai Kosovo.

Ketika Perang Dunia I meletus, Kosovo diduduki pasukan Austria-Hungaria dan Bulgaria. Warga Kosovo etnis Albania pun ikut mendukung pasukan itu melawan Serbia. Sekolah bahasa Albania dibuka untuk mengikis pengaruh Serbia. Pada 1918, tentara Serbia balas dendam. Tentara Serbia membantai wanita, anak-anak, dan menghancurkan rumah penduduk Kosovo.

Setahun kemudian, perdamaian pun tercapai dengan berdirinya negara baru bernama Yugoslavia yang terdiri dari Slovenia, Kroasia, Serbia, Boznia-Herzegovina, Montenegro, dan Macedonia. Kala itu, Kosovo kembali berada di bawah sayap Serbia. Saat itu, penduduk Yugoslavia mencapai 12 juta jiwa, 400 ribu diantaranya adalah etnis Albania yang mayoritas beragama Islam.

Jejak Kerajaan Usmani di Kosovo

Kerajaan Usmani Turki begitu banyak meninggalkan warisan peradaban di Kosovo. Sayangnya, peninggalan bersejarah yang begitu berharga kebanyakan telah hancur akibat konflik berdarah di kawasan Balkan itu. Tentara Serbia, selain membunuhi warga etnis Albania dalam konflik yang terjadi di era-1990-an, juga banyak sekali membumihanguskan peninggalan Kerajaan Usmani Ottoman Turki.

Beberapa peningggalan sejarah yang dibangun Kerajaan Usmani itu antara lain dua buah jembatan di Gjakova. Kedua jembatan peninggalan abad ke-15 M itu bernama Ura e Terzive dan Ura e Tabakeve. Warisan yang ditinggalkan Kerajaan Usmani juga begitu kental terlihat dari gaya arsitektur di Kosovo.

Arsitektur perumahan di perkotaan Kosovo peninggalan abad ke-15 bernama konak atau shtepia. Selain itu juga dikenal perumahan yang berbentuk menara dari batu yang disebut kulla. Andrew Herscher dan Andras Riedlmayer dalam tulisannya berjudul Architectural Heritage in Kosovo: A Post-War Report, memaparkan peninggalan Kerjaan Usmani juga terlihat dari bangunan masjid, tekkes (rumah kecil tentap para sufi), medreses (sekolah agama), perpustakaan Islam, hamams (tempat mandi orang Turki), dan pasar.

''Warisan peninggalan itu mengalami kerusakan yang parah akibat konflik,'' papar Herscher dan Riedlmayer. Salah satu bangunan masji terkemuka di Kosovo peninggalan Kerajaan Ottoman adalah Masjid Bayrakli (Masjid Al-Fati). Masjid itu dibangun pada abad ke-15 M oleh Sultan Mehmet al-Fatih. Sayang masjid itu dihancurkan tentara Serbia pada Juni 1999. Pada tahun 1993, tercacat terdapat 607 unit masjid di Kosovo. Hampir 200 unit di antaranya dihancurkan Serbia.

Benih Kebencian yang Tersemai di Balkan

Setelah terbentuknya Yugoslavia, benih kebencian antara etnis Serbia dan etnis Albania di Kosovo terus tumbuh seperti kecambah. Hubungan kedua etnis kian memanas ketika pada 1921, warga etnis Albania di Kosovo meminta Liga Nasional untuk bergabung dengan Albania pada 1921. Mereka menguak fakta bahwa selama 1918 hingga 1921, Serbia telah membantai 12 ribu etnis Albania. Sekitar 22 ribu orang dipenjara Serbia. Namun, permintaan rakyat Kosovo untuk bergabung dengan Albania tak digubris Liga Nasional.

Ketika Perang Dunia II meletus, Albania dikuasai Italia pada 1939. Jerman menguasai Yugoslavia meliputi Serbia serta Macedonia. Saat itu, Kosovo dikuasai oleh etnis Albania, namun wilayah pertambangan yang penting masih dikuasai Jerman. Ketika itu, 100 ribu etnis Albania kembali berdatangan ke Kosovo dan membuat etnis Serbia tersinggkir.

Pasca-Perang Dunia II, Yugoslavia menjanjikan otonomi khusus kepada Kosovo. Namun, janji itu tak terbukti. Pada 1946, konstitusi tak menjamin adanya otonomi khusus bagi Kosovo. Pada tahun 1967, Presiden Yugoslavia, Josip Bros Tito, untuk pertama kalinya berkunjung ke Kosovo. Dia mendesak pemimpin Serbia menyingkir dari Kosovo.

Kebijakan Tito itu membangkitkan nasionalisme etnis Albani di Kosovo. Jumlah etnis Kosovo pun semakin bertambah dari 67 persen menjadi 74 persen. Pada tahun 1981, jumlah etnis Albani di Kosovo bertambah menjadi 77 persen menyusul hengkangnya 100 ribu etnis Serbia. Sepeninggal Tito, etnis Albania seperti anak ayam kehilangan induknya.

Gerakan dan tuntutan kemerdekaan Kosovo pun terus disuarakan etnis Albania. Upaya pertama untuk memerdekakan diri pada tahun 1990 gagal, karena diserbu Serbia. Pertarungan yang tidak seimbang antara Serbia dengan gerilyawan Kosovo atau KLA ini menimbulkan tragedi pembantaian dan pengungsian besar-besaran.

Pada perang 1998-1999, tentara Serbia membantai tak kurang dari 10 ribu etnis Albania yang dianggap mendukung kemerdekaan Kosovo. NATO yang dipimpin oleh Amerika Serikat mengusir Serbia dengan serangan udara selama 78 hari.

Kosovo kemudian berada dibawah perlindungan PBB dan NATO. Usaha kemerdekaan Kosovo kali ini mendapat dukungan hampir sepertiga negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan negara yang menolaknya adalah Serbia dan Rusia.
(heri ruslan )


Read more!-Read more
Khazanah
Rabu, 27 Februari 2008
Ibnu Battuta
Kisah Sang Pengembara

Pencapaian Ibnu Battuta yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika.

''Aku tinggalkan Tangier, kampung halamanku, pada Kamis 2 Rajab 725 H/ 14 Juni 1325 M. Saat itu usiaku baru 21 tahun empat bulan. Tujuanku adalah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci di Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah,'' kisah Ibnu Battuta - pengembara dan penjelajah Muslim terhebat di dunia -- membuka pengalaman perjalanan panjangnya dalam buku catatannya, Rihla.





Dengan penuh kesedihan, ia meninggalkan orangtua serta sahabat sahabatnya di Tangier. Tekadnya sudah bulat untuk menunaikan rukun iman kelima. Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya bertualang dan menjelajahi dunia. Seorang diri, dia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia.

''Kehebatan Ibnu Battuta hanya dapat dibandingkan dengan pelancong terkemuka Eropa, Marcopolo (1254 M -1324 M),'' ujar Sejarawan Brockelmann mengagumi ketangguhan sang pengembara Muslim itu.

Selama hampir 30 tahun, dia telah mengunjungi tiga benua mulai dari Afrika Utara, Afrika Barat, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia engah, Asia Tenggara, dan Cina.

Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia itu mencapai 73 ribu mil atau sejauh 117 ribu kilometer. Tak heran, bila kehebatannya mampu melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai berlayar 125 setelah Ibnu Battuta.

Sejarawan Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Battuta melebihi capaian Marco Polo. Tak heran, bila Sarton geleng-geleng kepala dan mengagumi ketangguhan seorang Ibnu Battuta yang mampu mengarungi lauatan dan menjelajahi daratan sepanjang 73 ribu mil itu. Sebuah pencapaian yang tak ada duanya di masa itu.

Lalu siapakah sebenarnya pengembara tangguh bernama Ibnu Battuta itu? Pria kelahiran Tangier 17 Rajab 703 H/ 25 Februari 1304 itu bernama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim At-Tanji, bergelar Syamsuddin bin Battutah. Sejak kecil, Ibnu Battuta dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam. Ibnu Battuta begitu tertarik untuk mendalami ilmu-ilmu fikih dan sastra dan syair Arab.

Kelak, ilmu yang dipelajarinya semasa kecil hingga dewasa itu banyak membantunya dalam melalui perjalanan panjangnya. Ketika Ibnu Battuta tumbuh menjadi seorang pemuda, dunia Islam terbagi-bagi atas kerajaan-kerajaan dan dinasti. Ia sempat mengalami kejayaan Bani Marrin yang berkuasa di Maroko pada abad ke-13 dan 14 M.

Latar belakang Ibnu Battuta begitu jauh berbeda bila dibandingkan Marco Polo yang seorang pedagang dan Columbus yang benar-benar seorang petualang sejati. Meski Ibnu Battuta adalah seorang teologis, sastrawan puis,i dan cendekiawan, serta humanis, namun ketangguhannya mampu mengalahkan keduanya.

Meski hatinya berat untuk meninggalkan orang-orang yang dicintainya, Ibnu Battuta tetap meninggalkan kampung halamannya untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah yang berjarak 3.000 mil ke arah Timur. Dari Tangier, Afrika Utara dia menuju Iskandariah. Lalu kembali bergerak ke Dimyath dan Kaherah.

Setelah itu, dia menginjakkan kakinya di Palestina dan selanjutnya menuju Damaskus. Ia lalu berjalan kaki ke Ladzikiyah hingga sampai di Allepo. Pintu menuju Makkah terbuka dihadapannya setelah dia melihat satu kafilah sedang bergerak untuk menunaikan ibadat haji ke Tanah Suci. Ia pun bergabung dengan rombongan itu. Beliau menetap di Makkah selama dua tahun.

Setelah cita-citanya tercapai, Ibnu Battuta, ternyata tak langsung pulang ke Tangier, Maroko. Ia lebih memilih untuk meneruskan pengembaraannya ke Yaman melalui jalan laut dan melawat ke Aden, Mombosa, Timur Afrika dan menuju ke Kulwa. Ia kembali ke Oman dan kembali lagi ke Makkah untuk menunaikan Haji pada tahun 1332 M, melaui Hormuz, Siraf, Bahrin dan Yamama.

Itulah putaran pertama perjalanan yang tempuh Ibnu Battuta. Pengembaraan putara kedua, dilalu Ibnu Battuta dengan menjelajahi Syam dan Laut Hitam. I lalumeneruskan pengembaraannya ke Bulgaria, Roma, Rusia, Turki serta pelabuhan terpenting di Laut Hitam yaitu Odesia, kemudian menyusuri sepanjang Sungai Danube.

Ia lalu berlayar menyeberangi Laut Hitam ke Semenanjung Crimea dan mengunjungi Rusia Selatan dan seterusnya ke India. Di India, ia pernah diangkat menjadi kadi. Dia lalu bergerak lagi ke Sri Langka, Indonesia, dan Canton. Kemudian Ibnu Battuta mengembara pula ke Sumatera, Indonesia dan melanjutkan perjalanan melalui laut Amman dan akhirnya eneruskan perjalanan darat ke Iran, Irak, Palestina, dan Mesir.

Beliau lalu kembali ke Makkah untuk menunaikan ibadah hajinya yang ke tujuh pada bulan November 1348 M. Perjalanan putaran ketiga kembali dimulai pada 753 H. Ia terdampar di Mali di tengah Afrika Barat dan akhirnya kembali ke Fez, Maroko pada 1355 M.

Ia mengakhiri cerita perjalannya dengan sebuah kalimat, ''Akhirnya aku sampai juga di kota Fez.'' Di situ dia menuliskan hasil pengembaraannya. Salah seorang penulis bernama Mohad Ibnu Juza menuliskan kisah perjalanannya dengan gaya bahasa yang renyah. Dalam waktu tiga bulan, buku berjudul Persembahan Seorang pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumka, diselesaikannya pada 9 Desember 1355 M.

Secara detail, setiap kali mengunjungi sebuah negeri atau negara, Ibnu Battuta mencatat mengenai penduduk, pemerintah, dan ulama. Ia juga mengisahkan kedukaan yang pernah dialaminya seperti ketika berhadapa dengan penjahat, hampir pingsan bersama kapal yang karam dan nyaris dihukum penggal oleh pemerintah yang zalim. Ia meninggal dunia di Maroko pada pada tahun 1377 M.

Kisah pencapaian Ibnu Battuta yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika. Buktinya, Barat baru mengetahui kehebatannya setelah tiga abad meninggalnya sang pengembara.


Dari Tangier ke Samudera Pasai

Petualangan dan perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Battuta sempat membuatnya terdampar di Samudera Pasai - kerajaan Islam pertama di Nusantara pada abad ke-13 M. Ia menginjakkan kakinya di Aceh pada tahun 1345. Sang pengembara itu singgah di bumi Serambi Makkah selama 15 hari.

Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battuta melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah. ''Negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,'' tutur sang pengembara berdecak kagum. Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari para ulama dan pejabat Samudera Pasai.

Ia disambut oleh pemimpin Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir al-Syirazi, Tajudin al-Ashbahani dan ahli fiqih kesultanan. Menurut Ibnu Battuta, kala itu Samudera Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Penjelajah termasyhur itu juga mengagumi Sultan Mahmud Malik Al-Zahir -- penguasa Samudera Pasai.

''Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,'' kisah Ibnu Battuta.

Menurut Ibnu Battuta, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun dii lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan.

Selama berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitab yang berjudul Tuhfat al-Nazhar, Ibnu Battuta menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang memiliki kelebihan yang luar biasa.

Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Battuta itu antara lain; raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa; raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah; raja Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia; raja Turki dikaguminya karena gagah perkasa; Raja Romawi yang sangat pemaaf; Raja Melayu Malik Al-Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, serta raja Turkistan.

Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu Battuta akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina. Catatan perjalanan Ibnu Battuta itu menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.


Abadi di Kawah Bulan

Nama besar dan kehebatan Ibnu Battuta dalam menjelajahi dunia di abad pertengahan hingga kini tetap dikenang. Bukan hanya umat Islam saja yang mengakui kehebatannya, Barat pun mengagumi sosok Ibnu Battuta. Tak heran, karya-karyanya disimpan Barat.

Sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya, International Astronomy Union (IAU) mengabadikan Ibnu Battuta menjadi nama salah satu kawah bulan. Bagi orang Astronomi, Ibnu Battuta bukan hanya seorang pengembara dan penjelajah paling termasyhur, namun juga sebuah kawah kecil di bulan yang berada di Mare Fecunditas.

Kawah Ibnu Battuta terletak di Baratdaya kawah Lindenbergh dan Timurlaut kawah bulan terkenal Goclenius. Di sekitar kawah Ibnu Battuta tersebar beberapa formasi kawah hantu. Kawah Ibnu Battuta berbentuk bundar dan simetris.

Dasar bagian dalam kawah Ibnu Battuta terbilang luas. Diameter kawah itu mencapai 11 kilometer. Dasar kawah bagian dalamnya terbilang gelap, segelap luarnya. Kawah Ibnu Battuta awalnya bernama Goclenius A. Namun, IAU kemudian memberinya nama Ibnu Battuta.

Selain dijadikan nama kawah di bulan, Ibnu Battuta juga diabadikan dan dikenang masyarakat Dubai lewat sebuah mal atau pusat perbelanjaan bernama Ibnu Battuta Mall. Di sepanjang koridor mal itu dipajangkan hasil penelitian dan penemuan Ibnu Battuta. Meski petualangan dan pengembaraannya telah berlalu enam abad silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga kini tetap dikenang.
( heri ruslan )


Read more!-Read more
Khazanah
Sumber Republika ; Kamis, 28 Februari 2008 8:47:00

Kairo Kota Segala Peradaban

Kota seribu menara. Itulah julukan yang disandang Kairo - salah satu kota penting dalam sejarah peradaban Islam. Pada abad pertengahan, ibukota Mesir yang berada di benua Afrika itu memainkan peranan yang hampir sama pentingnya dengan Baghdad di Persia serta Cordoba di Eropa.



Kairo yang terletak di delta Sungai Nil telah didiami manusia Mesir Kuno sejak tahun 3500 SM. Mesir Kuno sempat mencapai kemakmuran di bawah penguasa Zoser, Khufu, Khafre, Menaure, Unas dan lainnya. Di masa itu, ibukota Mesir Kuno itu sudah menjadi salah satu kota yang berpengaruh di dunia.

Sejak 30 SM, Mesir dikuasai bangsa Romawi. Kekuasaan Romawi di Mesir akhirnya tumbang ketika Islam menjejakkan pengaruhnya pada tahun 641 M. Adalah pasukan di bawah komando jenderal perang Muslim, Amar bin Al-Ash yang pertama kali menancapkan pengaruh Islam di Mesir. Saat itu, Amar bin Al-Ash justru menjadikan Fustat - kini bagian kota Cairo - sebagai pusat pemerintahannya.

Di Fustat itulah, bangunan masjid pertama kali berdiri di daratan Afrika. Fustat tercatat mengalami pasang-surut sebagai sebuah kota utama di Mesir selama 500 tahun. Penjelajah dari Persia, Nasir-i-Khusron mencatat kemajuan yang dicapai Fustat. Ia melihat betapa eksotik dan indahnya barang-barang di pasar Fustat, seperti tembikar warna-warni, kristal dan begitu melimpahnya buah-buahan dan bunga, sekalipun di musim dingin.

Dari tahun 975 sampai 1075 M Fustat menjadi pusat produksi keramik dan karya seni Islami - sekaligus salah satu kota terkaya di dunia. Ketika Dinasti Umayyah digulingkan Dinasti Abbasiyah pada 750 M, pusat pemerintahan Islam di Mesir dipindahkan ke Al-Askar - basis pendukung Abbasiyah. Kota itu bertahan menjadi ibukota pemerintahan hingga tahun 868 M. Sekitar 1168 M, Fustat dibumihanguskan agar tak dikuasai tentara Perang Salib.

Berdirinya Cairo sebagai ibukota dan pusat pemerintahan diawali gerakan penumpasan golongan Syiah yang dilancarkan penguasa Abbasiyah di Baghdad. Kongsi yang dibangun golongan Syiah dengan Bani Abbas untuk menjatuhkan Bani Umayyah akhirnya pecah.

Penguasa Abbasiyah mencoba meredam perlawanan golongan Syiah Ismailiyah di bawah pimpinan Ubaidillah Al-Mahdi. Setelah sempat ditahan, Ubadilah akhirnya dibaiat menjadi khalifah bergelar Al-Mahdi Amir Al-Mu'minin (909 M). Pengganti Khalifah Ubaidilah Al-Mahdi, Muizz Lidinillah mulai mengalihkan perhatiannya ke Mesir.

Ia menunjuk Panglima Jauhar Al-Katib As-Siqili untuk menaklukan Mesir. Tahun 969 M, Mesir berada dalam kekuasaan Syiah Ismailiyah. Sejak itu, mereka membangun kota baru yang diberi nama Al-Qahirah atau Kairo yang berarti 'penaklukan' atau 'kejayaan'. Pada 972 M, di Kairo telah berdiri Masjid Al-Azhar.

Kota Cairo tumbuh pesat setelah pada tahun 973, seiring dengan hijrahnya Khalifah Mu'izz Lidinillah dari Qairawan ke Mesir. Sejak saat itu, Kairo mencapai kejayaan sebagai pusat pemerintahan Dinasti Fatimiyah. Dinasti itu menorehkan kegemilangan selama 200 tahun. Di masa itu, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz.

Kairo tumbuh dan berkembang sebagai pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia. Kairo pun menggabungkan Fustat sebagai bagian dari wilayah administratifnya. Tak heran, jika Cairo tumbuh semakin pesat sebagai salah satu metropolis modern yang diperhitungkan dan berpengaruh.

Pada era itu pula, Cairo menjelma menjadi pusat intelektual dan kegiatan ilmiah baru. Bahkan, pada masa pemerintahan Abu Mansur Nizar Al-Aziz (975 M - 996 M), Kairo mampu bersaing dengan dua ibu kota Dinasti Islam lainnya yakni, Baghdad di bawah Dinasti Abbasiyah dan Cordoba pusat pemerintahan Umayyah di Spanyol. Kini, Universitas Al-Azhar menjadi salah satu perguruan tinggi terkemuka yang berada di kota itu.

Jika kedua dinasti lainnya mampu membangun istana, Bani Fatimiyah pun mampu mendirikannya. Selain itu, ketiga dinasti yang tersebar di tiga benua itu juga berlomba membangun masjid. Dinasti Abbasiyah di Baghdad bangga memiliki Masjid Samarra, Dinasti Umayyah memiliki Masjid Cordoba dan Fatimiyah memiliki Masjid Al-Azhar.

Fatimiyah mencapai kemajuan yang pesat dalam administrasi negara. Karena, pada saat itu, dinasti itu mengutamakan kecakapan dibandingkan keturunan dalam merekrut pegawai. Toleransi pun dikembangkan. Penganut Sunni yang profesional pun diangkat kedudukannya laiknya Syiah. Toleransi antarumat beragama pun begitu tinggi. Siapapun yang mampu bisa duduk di pemerintahan.

Diakhir masa kejayaan Fatimiyah, Kairo hampir saja jatuh ke dalam kekuasaan tentara Perang Salib pada 1167 M. Untunglah panglima perang Salahudin Al-Ayubi berhasil menghalaunya. Sejak itu, Salahudin kemudian mendeklarasikan kekuasaannya di bawah bendera Dinasti Ayubiyah - penganut Sunni. Dinasti itu hanya mampu bertahan selama 75 tahun.

Kairo kemudian diambil alih Dinasti Mamluk. Sekitar tiga abad lamanya Mamluk menjadikan Kairo sebagai pusat pemerintahannya. Ketika Baghdad dihancurkan bangsa Mongol pada 1258 M, pasukan Hulagu Khan tak mampu menembus benteng pertahanan Kairo. Selama periode itu, Kairo menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam dan gudang barang-barang dagang untuk Eropa dan dunia Timur.

Kairo juga sempat dikuasai Turki. Sejak kekuasaan Turki berakhir pada 1517 M, kota itu sempat tenggelam. Kairo kembali menggeliat ketika pada awal abad modern, Muhammad Ali memimpin Mesir. Kota itu pun menjelma sebagai pusat pembaruan Islam zaman modern. Demikianlah perjalanan panjang kota Kairo.


Jejak Ilmu Pengetahuan di Bumi Cairo

Laiknya tiga metropolis intelektual era abad pertengahan, seperti Baghdad, Cordoba, dan Bukhara, dari Kairo juga muncul sederet ilmuwan Muslim yang berpengaruh. Pasalnya, pada era kejayaan Dinasti Fatimiyah dan Mamluk Cairo telah menjadi kota tempat berkumpulnya para ilmuwan serta sarjana yang melakukan kegiatan ilmiah.

Memasuki abad modern, Kairo juga telah melahir sejumlah pemikir pembaruan Islam. Berikut adalah beberapa nama di antara sederet ilmuwan dan sarjana serta pemikir pembaruan Islam yang muncul dari pusat peradaban Islam di benua Afrika itu:

* Ibnu Al-Haytham
Dialah peletak dasar-dasar teori optik modern. Orang barat menyebutnya Al-Hazen. Lewat karya ilmiahnya, Kitab Al Manadhir atau Kitab Optik, ia menjelaskan berbagai ragam fenomena cahaya termasuk sistem penglihatan manusia. Selama lebih dari 500 tahun, Kitab Al Madahir terus bertahan sebagai buku paling penting dalam ilmu optik.

* Ibnu Al-Baytar
Nama lengkapnya Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Al-Baytar. Dia adalah ahli botani sekaligus ahli obat-obatan terhebat banyak melakukan penelitian dan kegiatan ilmiah di Cairo. Dia berhasil mengumpulkan dan memberikan catatan terhadap lebih dari 1.400 jenis tanaman obat. Dialah ahli Botani terkemuka di Arab.

* Jamaluddin Al-Afghani
Dia adalah seorang pemikir pembaruan Islam yang secara lantang menyuarakan pentingnya menegakkan solidaritas pan-Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa dengan kembali kepada Islam. Dalam perlawanannya terhadap penjajah imperialisme Barat, Jamaluddin mengobarkan semangat persatuan Islam dengan jalan mengajak kembali kepada Al-Qur'an serta menghilangkan bid'ah dan khurafat.

* Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam. Ia belajar tentang filsafat dan logika di Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamaluddin Al-Afghani, seorang filsuf dan pembaharu yang mengusung gerakan Pan-Islamisme untuk menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika.

* Sayyid Qutub
Sayyid bin haji Qutub bin Ibrahim, lahir tahun 1906 di sebuah desa bernama Qaha di wilayah Asyith, Mesir. Ideologi Islam dikemukakan Qutub sebagai ideology alternatif. Baginya tak ada jalan lain kecuali menegakkan Islam. Dalam bukunya Hadza al-Din, dia menegaskan bahwa Islam satu-satunya agama wahyu dan di amin kebenarannya dan dapat meningkatkan harkat manusia dan membebaskan dari berbagai ikatan daerah dan keturunan.

* Mahmud Syaltut
Syekh Mahmud Syaltut adalah salah seorang pemikir asal di Mesir. Ia memberi kontribusi dalah bidang hukum Islam. Mahmud Syaltut mengemukakan sebuah risalah tentang pertanggungjawaban sipil dan pidana Islam.


Para Khalifah Dinasti Fatimiyah Penguasa Cairo

* Khalifah Ubaidilah Al-Mahdi (910-934). Dia adalah pendiri Dinastii Fatimiyah
* Abu al-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946)
* Isma'il al-Mansur bi-llah (946-953)
* Abu Tamim Ma'add al-Mu'izz li-Din Allah (953 M - 975) M. Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya
* Abu Mansur Nizar al-'Aziz bi-llah (975 M - 996 M)
* Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996M - 1021 M)
* Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Din Allah (1021 M - 1036 M)
* Abu Tamim Ma'add al-Mustanhir bi-llah (1036 M - 1094 M)
*Al-Musta'li bi-llah (1094 M - 1101 M). Pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
* All-Amir bi-Ahkam Allah (1101 M - 1130 M). Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
* Abd al-Majid (1130 M - 1149 M)
* Al-Wafir (1149 M - 1154 M)
* Al-Fa'iz (1154 M - 1160 M)
* Al-'Adid (1160 M - 1171 M): Setelah jatuhnya Al-`Adid, kekuasaan Dinasti Fatimiyah selama 200 tahun berakhir.
(heri ruslan )


Read more!-Read more
<$BlogDateHeaderDate$>
Source; islamtomorrow.com
Islam - Religion of Tomorrow?
Written by Religion Editor
Friday, 15 February 2008
Reality oF Tomorrow's Religious Future - ISLAM?

"Islam in all its splendor, may once again, take the dominant position of monotheism in tomorrow's world." - according to statistics.

This is the conclusion of several "experts" after studying historical, religious and geographical reports and then applying simple probabilities. "Consider," they say, "given historical evidences and bringing into the equation today's circumstances world-wide, there can no doubt be a serious possibility of Islam becoming the dominant world religion for the masses."




Although it is unlikely whether Muslims would do much about it, there is some very relative and impressive statistical information regarding modern day trends amongst our planet's population regarding religion. Should they decide to leave off fighting and killing each other, the Muslims might just discover the very unique position for the religion of Islam the planet's future. Muslims could find their religion of Islam to be well-positioned to become the dominant world religion of tomorrow.


Look to the facts; Judaism is for all practical purposes, out of the running entirely as a world leader, due to the ethnic structure of their faith. Basically, you can not really "join" Judaism; you are either born a Jew or you are not. In this regard Christianity and Islam are both far more competitive in that both proselytize and actively encourage and welcome new converts to their respective faiths.

As Judaism is disqualified due to the lack of increased membership, so too, is Christianity falling behind in population numbers due in part to a lower birth rate than that of the Muslims on a world wide scale. Statistics indicate the population of followers of Christianity to pale in comparison to the number of new births to followers within the monotheistic faiths. This is where Islam begins to move ahead in the race for world domination as tomorrow's leader in monotheism.

Christianity suffers from a large number of next generation drop outs, who simply no longer care about religion at all and are far more concerned about education, careers and getting ahead in today's world, while choosing to have more open relationships not requiring marriage or committments. Muslims, at the same time, are more dedicated to participation in worship, marriage and having children.

The next consideration for a faith of tomorrow would be the rational of belief and compatibility with testable evidences in today's scientific and highly technological society. Concepts, beliefs and notions would necessarily need to come into some area of reality and be at least somewhat practical in application.

Converts to Islam are swapping their crosses for Qurans in alarming numbers for a number of reasons, all pertaining to the ideological offerings of the faith itself. Consider if you will, the number of scientists and professors in various fields of knowledge and disciplines facing serious problematic errors in their former theories regarding evolution, big bang and survival of the fittest" concepts. These can no longer be taken serious in light of the latest technologies and discoveries in today's world. DNA testing, studies related to chromozones and stem cell research have forced atheist scientists to concede, as one might reluctantly admit, "In light of recent discoveries and lack of any other scientific evidences it would seem that at least certain species of life have no pre-existing form or status to have evolved from. Therefore, we would have to concede, at least in some instances, there appears to be some source of intellegent design."

"Intelligent Design"? According to some modern day scholars of Islam, this is exactly what was mentioned within the teachings of their religion (Islam) over 14 centuries ago. Is this possible? Is it likely? Could there exist a "Real God"? One who created all things? Well, this is not a new concept to the monotheists of Judaism or Christianity, as they have always asserted their belief in the Creator God, Sustainer Lord, as the One God. After all, that is what makes them a monotheistic faith, isn't it?

What Islam is offering, if you choose to go along with the Muslim scientists, is that all of what we are discovering and coming up with in the most highly advanced and sophisticated laboratories on earth, is that all of this was mentioned in the teachings of their Quran and sayings of Mohamed. Hard to believe? Yeah.

All the same, check out the claims about science, Islam and today's take on all of this at:

www.scienceislam.com


Next point for advancement of Islam over Christianity comes in the concepts of worship. The deity of Christianity for most of today's churches centers upon someone who was a human being (at least part of him?), Jesus of Nazareth. Mohamed, on the other hand, is not treated as God or part of God. Rather, Mohamed is seen by the Muslims as a simple, humble and even illerate personality, who just happened to be a "messenger of God". Amazingly enough, Muslims subscribe to the "miracle-birth" story of Jesus and even insist he is with God for the time being and will definitely return in the last days, a statment that should appeal to many followers of the Bible. However, both Jesus and Mohamed are seen as mortal men, remarkable in many ways, but still fallible and human prophets or messengers of God.

Muslims identify Mohamed as the best example for mankind, the "mercy to the world" but at the same time, he was a man who was born, lived a simple life, married, had children and died, like the rest of us. This concept appeals much more to today's youth, than the idea of a super man-god going who could walk on water, bring dead back to life but couldn't avoid his own crucifiction and disgraceful death at the hands of disbelievers.

Strangely enough this whole scenario suddenly turns out to be the "key" to paradise, by letting everybody's sins go back to Jesus, This is so, simply by uttering a statement confirming he is God's son, and part of God and he died. But then he didn't really die because he came back and told people all about it. One of the more obvious problems arising from the whole story is when the Bible has Jesus praying to God before he is captured, to "Let this cup pass from me, but even so, your Will be done" indicating he definitely doesn't want this to take place.

But then his prayer is not answered and the cup doesn't pass from him (meaning he didn't get what he asked for). So, according to one drop-out from the Christian faith, "If God didn't accept the prayers of Jesus, then what makes me think He will accept my prayers?" Hmmm - Good question, huh?

Christianity has needed to adjust and rethink its position on many things over the centuries, and has done a pretty good job of adapting to new situations and new lands it has conquered (like South America, changing Jesus birthday from December 25 to January 6 to bring more of the pagans to Jesus - see: Feast of the Epiphany). Islam, on the other hand does not need to make such adjustments, claim the Muslims, because it is from God and God does not make mistakes. A bold claim, but one that seems to offer proofs that even modern day scientists are finding difficult to disprove.

See: www.ScienceIslam.com (videos from nine scientists)

The modern concept today regarding religion is seen as an attempt to somehow recognize God and worship Him. This seems to fit right along with Islam's presentation, far over that of Christianity's. Mohamed is seen as someone simply bringing a message of worshipping God as One. No complex answers required on this one. Trinity is denounced in the Quran and Jesus is elevated to the level of miracle-worker, prophet, Messiah (Christ), word of God, but still a man and not part of a three-way personality split in the cosmos (trinity).

Humans, and not God, are the problem - according to the Quran of Islam. Humans are born in a natural condition of submission and peace to the will of the Creator (God) and it is their upbringing and surroundings that will determine their belief and practices. Sounds like a modern day social worker or youth councelor, doesn't it?

Islam claims things will go all right for folks here in this life and in the Next life, if they will just follow a few common sense rules:
1. Worship God as One Lord (there is no option on number one)
2. Treat your parents and fellow men (and women) with high respect and dignity (as ye would have them treat you?)
3. As one young Muslim put it, "Get educated, get a job, get a wife and get a life."

Oh yes, and one more thing, "When you do mess up, be sure to say you are sorry and try to make up for it, and ask God to forgive you - then don't do it anymore" says another follower of Islam.

Christianity is loosing on yet another side these days - too many are just giving up and leaving the faith altogether. Says one gentelman in Sweden, "We were the last to accept Christianity (Sweden) and the first to reject it."

Furthermore, a modern Islam can exist side-by-side with a modern understanding of a mortal Jesus. Islam recognizes Jesus as a prophet. People in historically Christian cultures do not have to give up Jesus, the Golden Rule, Christmas, or even the virgin birth to accept Islam. (Easter is a little tricky.) Old Testament classics, such as the Ten Commandments, Adam and Eve, Jonah in the whale, Moses and the ark, Sodom and Gomorah, etc., are compatible with or part of Islam.

Throw in a higher birth rate among Muslims than among Christians, and the decline of faith in historically Christian nations - like Norway, Sweden, Denmark, France and so many others, and it’s not hard to imagine Islam as tomorrow’s dominant monotheism. Provided, of course, that Muslims stop promoting terrorism, hating Jews, ignoring the needs of women, condeming apostates and putting down homosexuals, glorifying martyrdom, etc.

- "An Atheist's View of Religion Tomorrow" (found online)

More? www.WhatsIslam.com and www.GodAllah.com also www.scienceislam.com check out www.LinksToIslam.com
Remember the kids - www.YouTubeIslam.com
Women? www.IslamsWomen.com/index.php



Read more!-Read more
Khazanah Islam
Sumber; Republika.co.id
Senin, 04 Februari 2008

Jejak Pesantren dalam Pemikiran Islam Global

Tradisi pemikiran pesantren mencapai puncaknya dengan munculnya berbagai ulama tangguh secara internasional oleh dunia Islam di masanya.

`'Islam Indonesia hanya konsumer. Bukan produser pemikiran.'' Pernyataan ini ditegaskan seorang dosen Universitas Indonesia lulusan Australia, beberapa tahun lalu, tepatnya sebelum pemilu 2004. Tak jelas apa motif dan dasar argumentasinya dia mengatakan seperti itu.



Namun, yang pasti karena acara itu sifatnya forum internasional, apalagi pidato itu diucapkan dalam bahasa Inggris, para hadirin yang sebagian pesertanya adalah orang asing, hanya terlihat mengangguk mengiyakan saja. Tak jelas apa mereka paham atau tidak akan substansinya.

Namun, beberapa waktu kemudian ketika soal ini ditanyakan kepada Guru Besar dan Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN), Prof DR Azyumardi Azra, dia menjawabnya dengan pernyataan pendek yang disertai senyuman ringan.''Ya mungkin dia terlalu bersemangat saja,'' kata Azyumardi.

Pernyataan ini semakin menggelitik ketika membaca kembali tulisan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 18 September 1982. Dalam tulisan itu Gus secara panjang lebar menulis berbagai kazanah pemikiran Islam hasil karya anak negeri sendiri. Warisan kekayaan intelektual ini merupakan karya para kai kondang yang tersebar di berbagai pesantren, baik itu dari pesantren Jawa maupun luar Jawa.

Gus Dur mengatakan melihat berbagai karya itu, maka dapat disimpulkan bahwa para kyai dan santri yang tersebar di berbagai pondok pesantren itu ternyata tak hanya menggantungkan diri pada teks-teks pemikiran Islam yang dianggap `berasal dari negeri Arab' (padahal pemikiran Islam ini sebenarnya datang dari berbagai penjuru dunia, seperti Afrika Barat, Asia Tengah, dan India.

Dari tradisi pemikiran pesantren itu kemudian mencapai puncaknya dengan munculnya berbagai `ulama tangguh' yang diakui secara internasional oleh dunia Islam di massanya. Sebut saja misalnya, Kiai Nawawi dari Banten, Kiai Mahfudz Termas (Pacitan), Kiai Muhtaram (Banyumas), dan Kiai Ahmad Khatib (Padang), serta Kiai Abdussamad asal Palembang.

Kiprah dan integritas para kiai ini sungguh luar biasa. Mereka itu menguasai dunia keilmuan agama Islam di Makkah selama puluhan tahun, tepatnya disekitar peralihan abad keseimbilan belas hingga ke abad dua puluh.

Gus Dur menulis, pengakuan kepada kedalaman keilmuan para `kiai besar' itu masih terasa hingga kini. Syekh Yassin asal Padang misalnya, mendapat kehormatan untuk menaturalisasi (tajannus) status kewarganegaraannya sebagai warga negara Arab Saudi. Sampai sekarang karya tulis Syekh Yasin ini tersebar dan dijadikan rujukan di seluruh penjuru dunia Islam.

Senasib dengan berbagai karya Syekh Yasin, karya Kiai atau Syekh Nawawi asal Banten juga mendunia. Kitab yang ditulisnya yang membahas mengenai persoalan tauhid (teologi), Nur Al-Dhalam, digunakan sebagai teks dasar pesantren hingga saat ini. Bahkan, sebagai bukti pengakuan akan ketinggian ilmunya, Kiai Nawawi diberi gelar prestisius sebagai `pemuka ulama Makkah dan Madinah (sayid ulama Al-Hijaz).

Karya tulis Nawawi yang terkenal lainnya adalah berupa kumpulan pilihan`hadits empat puluh' (Hadits Al-Arba'in). Karya ini dipergunakan sebagai teks dasar bagi siapa pun yang ingin belajar ilmu hadits.

Pemikir Islam `made in' Indonesia yang tak kalah penting lainnya adalah Kiai Ihsan dari Pesantren Jampes (Kediri). Dia menulis kitab Siraj Al Talibin, yang merupakan komentar atas karya klasik Al Ghazali yang ditulis pada periode awal tahun 1000 M: Minhaj Al-`Abidin. Mutu karya yang terdiri dari dua jilid ini bernilai tinggi, sehingga dijadikan buku wajib untuk kajian mahasiswa post-graduate di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Buku ini menjadi buku penting dengan materi berisi pembahasan mengenai tasawuf dan akhlak.

Namun, di antara figur tersebut ada sebuah nama pemikir penting Islam Indonesia yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, yakni KH Bisri Mustofa dari Rembang (Bisyri Musthafa Al-Rambani). Kiai ini menulis lebih dari dua puluh karya, termasuk sebuah tafsir Alquran yang berjumlah tiga jilid.

Sosok pemikir pesantren berikutnya adalah Kiai Misbah b Zain AL-Musfata dari Bangilan, Ahmad Subki Masyhadi dari Pekalongan, dan Asrofi dari Wonosari yang menerjemahkan beberapa teks Islam klasik dan menulis berjilid-jilid tafsir Alquran berbahasa Jawa.

Sedangkan penulis kondang beretnis Sunda yang terkenal sebagai penulis Kiai Ahmad Sanusi dari Sukabumi yang juga menjadi pendiri organisasi Al-Ittihadiyyatul Islamiyah. Dia menulis tafir Alquran.

Sedangkan pemikir Islam asal Sumatera diantaranya adalah Akhmad Khatib. Pemikiran dia bahkan sempat menjadi polemik yang menarik pada awal abad ke 20 di mana Indonesai mulai menyemai semangat kemerdekaan secara lebih sistematis.

Selain itu, pemikir Islam asal etnis Minangkabau lainnya adalah Mahmud Yunus dan Abdul Hakim. Keduanya telah menulis sejumlah buku teks dalam bahasa Melayu dan Arab. Beberapa karyanya dijadikan bahan pelajaran di madrasah dan pesantren dan dipelajari secara luas oleh masyarakat.
(m subarkah )




Read more!-Read more
Sumber; Republika.co.id
Rabu, 06 Februari 2008

Al-Kindi Filosof Islam Pertama

Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.

''Al-Kindi adalah salah satu dari 12 pemikir terbesar di abad pertengahan,'' cetus sarjana Italia era Renaissance, Geralomo Cardano (1501-1575). Di mata sejarawan Ibnu Al-Nadim, Al-Kindi merupakan manusia terbaik pada zamannya. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Dunia pun mendapuknya sebagai filosof Arab yang paling tangguh.



Ilmuwan kelahiran Kufah, 185 H/801 M itu bernama lengkap Abu Yusuf Ya'qub bin Ishak bin Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin Al-Asy'ats bin Qais Al-Kindi. Ia berasal dari sebuah keluarga pejabat. Keluarganya berasal dari suku Kindah -- salah satu suku Arab yang besar di Yaman -- sebelum Islam datang. Nenek moyangnya kemudian hijrah ke Kufah.

Ayahnya bernama Ibnu As-Sabah. Sang ayah pernah menduduki jabatan Gubernur Kufah pada era kepemimpinan Al-Mahdi (775-785) dan Harun Arrasyid (786-809). Kakeknya Asy'ats bin Qais kakeknya AL-Kindi dikenal sebagah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Bila ditelusuri nasabnya, Al-Kindi merupakan keturunan Ya'rib bin Qathan, raja di wilayah Qindah.

Pendidikan dasar ditempuh Al-Kindi di tanah kelahirannya. Kemudian, dia melanjutkan dan menamatkan pendidikan di Baghdad. Sejak belia, dia sudah dikenal berotak encer. Tiga bahasa penting dikuasainya, yakni Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang jarang dimiliki orang pada era itu.

Al-Kindi hidup di era kejayaan Islam Baghdad di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode khalifah dilaluinya yakni, Al-Amin (809-813), Al-Ma'mun (813-833), Al-Mu'tasim, Al-Wasiq (842-847) dan Mutawakil (847-861). Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan.

Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah (House of Wisdom) yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani. Ketika Khalifah Al-Ma'mun tutup usia dan digantikan puteranya, Al-Mu'tasim, posisi Al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi puteranya.

Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan. Menurut Al-Nadhim, selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, Al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirnya dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.

Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.

Buah pikir yang dihasilkannya begitu berpengaruh terhadap perkembangan peradaban Barat pada abad pertengahan. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Eropa. Buku-buku itu tetap digunakan selama beberapa abad setelah ia meninggal dunia.

Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang Islam pertama yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat masih didominasi orang Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.

Setelah era Khalifah AL-Mu'tasim berakhir dan tampuk kepemimpin beralih ke Al-watiq dan Al-Mutawakkil, peran Al-Kindi semakin dipersempit. Namun, tulisan kaligrafinya yang menawan sempat membuat Khalifah kepincut. Khalifah AL-Mutawakkil kemudian mendapuknya sebagai ahli kaligrafi istana. Namun, itu tak berlangsung lama.

Ketika Khalifah Al-Mutawakkil tak lagi menggunakan paham Muktazilah sebagai aliran pemikiran resmi kerajaan, Al-Kindi tersingkir. Ia dipecat dari berbagai jabatan yang sempat diembannya. Jabatannya sebagai guru istana pun diambil alih ilmuwan lain yang tak sepopuler Al-Kindi. Friksi pun sempat terjadi, perpustakaan pribadinya sempat diambil alih putera-putera Musa. Namun akhirnya Al-Kindiyah - perpustakaan pribadi itu - dikembalikan lagi.

Sebagai penggagas filsafat murni dalam dunia Islam, Al-Kindi memandang filasafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia. Sebab, melalui filsafat-lah, manusia bisa belajar mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama da merupakan sebab dari semua realitas lainnya.

Baginya, filsafat adalah ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat, dalam pandangan Al-Kindi bertujuan untuk memperkuat agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.

Salah seorang penulis buku tentang studi Islam, Henry Corbin, menggambarkan akhir hayat dari sang filosof Islam. Menurut Corbin, pada tahun 873, Al-Kindi tutup usia dalam kesendirian dan kesepian. Saat itu, Baghdad tengah dikuasai rezim Al-Mu'tamid. Begitu dia meninggal, buku- buku filsafat yang dihasilkannya banyak yang hilang.

Sejarawan Felix Klein-Franke menduga lenyapnya sejumlah karya filsafat Al-Kindi akibat dimusnahkan rezim Al-Mutawakkil yang tak senang dengan paham Muktazilah. Selain itu, papar Klein-Franke, bisa juga lenyapnya karya-karya AL-Kindi akibat ulah serangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yang membumihanguskan kota Baghdad dan Baitulhikmah.

Hingga kini, Al-Kindi tetap dikenang sebagai ilmuwan Islam yang banyak berjasa bagi ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.

Kitab Pemecah Kode

Sebagai ilmuwan serba bisa, Al-Kindi tak cuma melahirkan pemikiran di bidang filsafat saja. Salah satu karyanya yang termasuk fenomenal adalah Risalah Fi Istikhraj al-Mu'amma. Kitab itu mengurai dan membahas kriptologi atau seni memecahkan kode. Dalam kitabnya itu, Al-Kindi memaparkan bagaimana kode-kode rahasia diurai.

Teknik-teknik penguraian kode atau sandi-sandi yang sulit dipecahkan dikupas tuntas dalam kitab itu. Selain itu, ia juga mengklasifikasikan sandi-sandi rahasia serta menjelaskan ilmu fonetik Arab dan sintaksisnya. Yang paling penting lagi, dalam buku tersebut, A-Kindi mengenalkan penggunaan beberapa teknik statistika untuk memecahkan kode-kode rahasia.

Kriptografi dikuasainya, lantaran dia pakar di bidang matematika. Di area ilmu ini, ia menulis empat buku mengenai sistem penomoran dan menjadi dasar bagi aritmatika modern. Al-Kindi juga berkontribusi besar dalam bidang geometri bola, bidang yang sangat mendukungnya dalam studi astronomi

Bekerja di bidang sandi-sandi rahasia dan pesan-pesan tersembunyi dalam naskah-naskah asli Yunani dan Romawi mempertajam nalurinya dalam bidang kriptoanalisa. Ia menjabarkannya dalam sebuah makalah, yang setelah dibawa ke Barat beberapa abad sesudahnya diterjemahkan sebagai Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages. ''Salah satu cara untuk memecahkan kode rahasia, jika kita tahu bahasannya adalah dengan menemukan satu naskah asli yang berbeda dari bahasa yang sama, lalu kita hitung kejadian-kejadian pada tiap naskah Pilah menjadi naskah kejadian satu, kejadian dua, dan seterusnya,'' kata Al-Kindi.

Setelah itu, lanjut Al-Kindi, baru kemudian dilihat kepada teks rahasia yang ingin dipecahkan. Setelah itu dilanjutkan dengan melakukan klasifikasi simbol-simbolnya. ''Di situ kita akan menemukan simbol yang paling sering muncul, lalu ubahlah dengan catatan kejadian satu, dua, dan seterusnya itu, sampai seluruh simbol itu terbaca.''

Teknik itu, kemudian dikenal sebagai analisa frekuensi dalam kriptografi, yaitu cara paling sederhana untuk menghitung persentase bahasa khusus dalam naskah asli, persentase huruf dalam kode rahasia, dan menggantikan simbol dengan huruf.

Filsafat Al-Kindi

Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz'iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan).

Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.

Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci.

Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.

Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.

Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat aktual, jika tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam aktualitas.
(heri ruslan )



Read more!-Read more
Sumber; Republika co.id
Senin, 11 Februari 2008

Islam dan Demokrasi

Gagasan demokrasi dibawa ke negara-negara berpenduduk Muslim oleh para pemikir Islam yang mempelajari budaya Barat.

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, gelombang demokrasi telah meluas ke berbagai negara, tak terkecuali negara-negara berpenduduk Muslim. Wacana demokrasi dan Islam yang kerap diwarnai pro dan kontra selalu menarik untuk diperbincangkan.

''Hubungan antara Islam dan demokrasi dalam dunia saat ini begitu kompleks,'' ungkap John L Esposito dan John O Voll dalam tulisannya berjudul Islam and Democracy. Lalu bisakah demokrasi dan Islam bisa cocok (compatible) dan berdampingan?




Konon, demokrasi berakar dari peradaban bangsa Yunani Kuno pada 500 SM. Dari negeri itulah, asal kata democratia, yang demos berarti rakyat dan cratia berarti pemerintahan. Chleisthenes - tokoh pada masa itu -- dianggap banyak memberi kontirbusi dalam pengembangan demokrasi.

Chleisthenes adalah tokoh pembaharu Athena yang menggagas sebuah sistem pemerintahan kota. Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athena ke dalam 10 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari beberapa demes yang mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil.

Sejatinya, jauh sebelum bangsa Yunani mengenal demokrasi. Para ilmuwan meyakini, bangsa Sumeria yang tinggal di Mesopotamia juga telah mempraktikkan bentuk-bentuk demokrasi. Konon, masyarakat India Kuno pun telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan mereka, jauh sebelum Yunani dan Romawi.

''Demokrasi muncul dari pemikiran manusia,'' ungkap Aristoteles seorang pemikir termasyhur dari Yunani. Gagasan demokrasi yang berkembang di Yunani sempat hilang di barat, saat Romawi Barat takluk ke tangan suku Jerman. Pada abad pertengahan, Eropa Barat menganut sistem feodal. Kehidupan sosial dan spiritual dikuasai Paus dan pejabat agama Lawuja. Magna Charta yang lahir pada 1215 dianggap sebagai jalan pembuka munculnya kembali demokrasi di Barat. Pada masa itu, muncullah pemikir-pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi seperti, John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-1755).

Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika Eropa bangkit di abad pencerahan. Pada masa itulah lahir pemikiran-pemikiran besar tentang relasi antara penguasa dengan rakyat, atau negara dan masyarakat. Secara sederhana, Ulf Sundhaussen karya tulisannya Demokrasi dan Kelas Menengah menyebutkan beberapa kriteria demokrasi.

Pertama, adanya jaminan hak bagi setiap warga negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yag diadakan secara berkala dan bebas. Kedua, setiap warga negara menikmati kebebasan berbicara, berorganisasi, mendapatkan informasi, serta beragama. Ketiga, dijaminnya kesamaan hak di depan umum.

Sementara itu, Joseph Schumpter dalam Capitalism, Socialism and Democracy menyatakan demokrasi sebagai mekanisme pasar. Para pemilih bertindak sebagai konsumen dan para politisi adalah wiraswastanya. Ide demokrasi terus mengalir hingga ke Timur Tengah pada pertengahan abad ke-19.

Gagasan demokrasi itu dibawa ke negara-negara berpenduduk Muslim oleh para pemikir Islam yang mempelajari budaya Barat. Para pemikir inilah yang kemudian menekankan pentingnya umat Islam untuk mengadopsi hukum-hukum Barat dengan cara selektif. Salah satu pemikir Islam yang menekankan hal itu adalah Muhammad Abduh (1848-1905) - pembaru pemikiran Islam di Mesir.

Melalui Al-Manar, Abduh menekankan pentingnya penguatan moral akar rumput masyarakat Islam, dengan kembali ke masa lalu, namun mengakui dan menerima kebutuhan untuk berubah, serta menghubungkan perubahan itu dengan ajaran Islam. Abduh meyakini Islam dapat mengadopsi untuk berubah sekaligus mengendalikan perubahan itu.

''Islam dapat menjadi basis moral sebuah masyarakat yang progresif dan modern,'' papar Abduh. Seabad kemudian, banyak negara Muslim di dunia yang memilih demokrasi untuk diterapkan dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World membagi pandangan umat Islam terhadap demokrasi ke dalam dua kelompok, yakni liberal dan konservatif. Para pendukung Islam liberal dipengaruhi Muhammad Abduh. Kelompok ini menyatakan bahwa agama Islam tak bertentangan dengan perspektif sekuler.

Menurut kelompok ini, Islam mendorong umatnya untuk mendirikan pemerintahan yang berbasis pada pemikiran modern. Tiga konsep yang menjadi perhatian penganut kelompok Islam liberal adalah Syura (musyawarah), Al-Maslahah (kepentingan umum), dan 'Adl (keadilan).

Kelompok ini memandang tidak ada kesepakatan diantara ilmuwan Islam mengenai syura. Meski begitu, pada dasarnya mereka sepakat pada ayat Alquran yang memerintahkan Nabi untuk berkonsultasi dengan penasehatnya. Penganut paham liberal juga meyakini Muslim yang baik perlu bermusyawarah dengan orang lain untuk membangun hubungan. Bagi mereka, demokrasi tak bertentangan dengan Islam.

Sementara itu, kelompok konservatif menyatakan kedaulatan bukan berada di tangan manusia, tetapi di tangan Tuhan. Pandangan kelompok konservatif banyak dipengaruhi pemikiran ulama asal Mesir, Sayyid Qutb (1906-1966). Ia menyatakan, sistem negara-negara Arab yang tak Islami sebagai bagian dari jahiliyah modern.

Menurut Sayyid Qutb, banyak aspek yang berlaku dalam kehidupan modern, termsuk institusi dan kepercayaan barat sebagai kejahatan dan bertentangan dengan Islam. Dia meyakini, universalitas dan kesempurnaan Islam sangat cocok bagi setiap orang tanpa memandang tempat dan waktu. Syariah menjadi sumber aturan kehidupan.

Pemikir Islam lainnya, Hasan Al-Turabi, menyatakan sistem sosial dan politik perlu didasarkan pada tauhid. Menurut dia, syura dan tauhid bergandengan tangan.

''Syura dibutuhkan untuk menerjemahkan syariah dalam berhubungan dengan konstitusi, hukum, sosial dan masalah-masalah ekonomi,'' papar Al-Turabi. Bagi kelompok konservatif, syura sangat berbeda dengan gaya demokrasi Barat. Begitulah umat Islam memandang demokrasi.


Syura Model Demokrasi Islam

Selepas wafatnya Rasulullah SAW pada 12 Rabiulawal 11 H, para sahabat memutuskan untuk mencari tokoh yang dapat memimpin umat Islam. Sebelum Rasulullah wafat, beliau tidak menunjuk pengganti atau mewariskan kepemimpinannya kepada seseorang. Suksesi kepemimpinan pada waktu itu dilakukan para sahabat dengan musyawarah (syura) dan pemilihan.

Masyarakat Islam dengan sukarela dan tanpa paksaan mengakui dan menyetujui empat sahabat Rasulullah, secara berurutan, Abu Bakar as-Siddiq, Umat bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, menjadi Khulafa' ar-Rasyidin (para pengganti yang memberi bimbingan). Pemilihan dan musyawarah dilakukan sesuai dengan kondisi saat itu.

Sejak saat itulah, kemudian muncul istilah syura dalam kehidupan politik, sosial, dan kemasyarakatan umat Islam. Syura berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi.

Dalam surat Ali Imran ayat 159 Allah SAWT berfirman, ''Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan bermusyawarlah (syawir) dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian apabila telah berbulat tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang betawakal kepada-Nya.''

Dengan ayat itu, Islam menjadikan syura sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan masala-masalah sosial, politik dan pemerintahan. Syura merupakan suatu sarana dan cara memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk peraturan hukum maupun kebijaksanaan politik.

Setiap orang yang bermusyawarah tentu akan berusaha menyatakan pendapat yang baik, sehingga masalah atau persoalan yang dihadapi bisa diselesaikan. Jika para pemimpin masyarakat, politik dan pemerintahan mengikutsertakan rakyat untuk memusyawarahkan suatu urusan, maka rakyat akan memahaminya dan ikut berpartisipasi dalam melaksanakannya.

Dengan begitu rakyat terhindar dari kesewenang-wenangan. Melalui ayat itu pula, Allah melarang para pemimpin umat memutuskan suatu urusan dengan sewenang-wenang tanpa memperhatikan aspirasi umat.

Al-Qurtubi, seorang mufasir mengungkapkan,''Musyawarah adalah salah satu kaidah syara dalam ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barang siapa yang menjabat sebagai kepala negara , tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama (ulama) maka harus dipecat.''

Bentuk pelaksanaan syura memang tak ada yang menjelaskannya. Nabi Muhammad SAW yang gemar bermusyawarag dengan para sahabatnya tak mempunyai pola dan bentuk tertentu. Sehingga, bentuk pelaksanaan syura bisa disesuaikan dengan kondisi dan zaman umat Islam.

Apa Kata Mereka tentang Demokrasi

Setiap tokoh berbeda pendapat dalam menilai demokrasi yang saat ini banyak diterapkan negara-negara Muslim. Inilah pendapat mereka:
- Ayatollah Khomeini (pemimpin Spiritual Iran): Demokrasi adalah sebuah bentuk dari prostitusi, sebab dia yang memenangkan suara terbanyak akan meraih kekuasaan, yang sesungguhnya kekuasaan itu adalah milik Tuhan.
- Aristoteles (pemikir Yunani): Pemberlakuan demokrasi sebagai suatu kemerosotan. Alasannya ketidakmungkinan orang banyak untuk memerintah yang kecil jumlahnya.
- Plato (pemikir Yunani): Kebanyakan orang adalah bodoh atau jahat atau kedua-duanya dan cenderung berpihak kepada diri sendiri. Jika orang banyak ini dituruti, maka muncullah kekuasaan yang bertumpu pada ketiranian dan terror.
- Winston Churchil (Mantan PM Inggris): Demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari bentuk pemerintahan.
- Abraham Lincoln: ( Mantan Presiden AS): Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.
(heri ruslan )




Read more!-Read more
Sumber : Republika.co.id
Selasa, 12 Februari 2008

Menguak Jejak Kedokteran Islam

Islam memberi kontribusi penting pada ilmu kedokteran.

`'Ilmu kedokteran tak lahir dalam waktu semalam,'' ujar Dr Ezzat Abouleish MD dalam tulisannya berjudul Contributions of Islam to Medicine. Studi kedokteran yang berkembang pesat di era modern ini merupakan puncak dari usaha jutaan manusia, baik yang dikenal maupun tidak, sejak ribuan tahun silam.


Saking pentingnya, ilmu kedokteran selalu diwariskan dari generasi ke generasi dan bangsa ke bangsa. Cikal bakal ilmu medis sudah ada sejak dahulu kala. Sejumlah peradaban kuno, seperti Mesir, Yunani, Roma, Persia, India, serta Cina sudah mulai mengembangkan dasar-dasar ilmu kedokteran dengan cara sederhana.

Orang Yunani Kuno mempercayai Asclepius sebagai dewa kesehatan. Pada era ini, menurut penulis Canterbury Tales, Geoffrey Chaucer, di Yunani telah muncul beberapa dokter atau tabib terkemuka. Tokoh Yunani yang banyak berkontribusi mengembangkan ilmu kedokteran adalah Hippocrates atau `Ypocras' (5-4 SM). Dia adalah tabib Yunani yang menulis dasar-dasar pengobatan.

Selain itu, ada juga nama Rufus of Ephesus (1 M) di Asia Minor. Ia adalah dokter yang berhasil menyusun lebih dari 60 risalat ilmu kedokteran Yunani. Dunia juga mengenal Dioscorides. Dia adalah penulis risalat pokok-pokok kedokteran yang menjadi dasar pembentukan farmasi selama beberapa abad. Dokter asal Yunani lainnya yang paling berpengaruh adalah Galen (2 M).

Ketika era kegelapan mencengkram Barat pada abad pertengahan, perkembangan ilmu kedokteran diambil alih dunia Islam yang tengah berkembang pesat di Timur Tengah. Menurut Ezzat Abouleish, seperti halnya lmu-ilmu yang lain, perkembangan kedokteran Islam melalui tiga periode pasang-surut.

Periode pertama dimulai dengan gerakan penerjemahan literatur kedokteran dari Yunani dan bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab yang berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Pada masa ini, sarjana dari Syiria dan Persia secara gemilang dan jujur menerjemahkan litelatur dari Yunani dan Syiria kedalam bahasa Arab.

Buah pikiran para tabib di era Yunani Kuno secara gencar dialihbahasakan. Adalah Khalifah Al-Ma'mun dari Diansti Abbasiyah yang mendorong para sarjana untuk berlomba-lomba menerjemahkan literatur penting ke dalam bahasa Arab. Khalifah pun menawarkan bayaran yang sangat tinggi, berupa emas, bagi para sarjana yang bersedia untuk menerjemahkan karya-karya kuno.

Sejumlah sarjana terkemuka ikut ambil bagian dalam proses transfer pengetahuan itu. Tercatat sejumlah tokoh seperti, Jurjis Ibn-Bakhtisliu, Yuhanna Ibn Masawaya, serta Hunain Ibn Ishak ikut menerjemahkan literatur kuno. Selain melibatkan sarjana-sarjana Islam, tak sedikit pula dari para penerjemahan itu yang beragama Kristen. Mereka diperlakukan secara terhormat oleh penguasa Muslim.

Proses transfer ilmu kedokteran yang berlangsung pada abad ke-7 dan ke-8 M membuahkan hasil. Pada abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia kedokteran Islam berkembang begitu pesat. Sejumlah RS (RS) besar berdiri. Pada masa kejayaan Islam, RS tak hanya berfungsi sebagai tempat perawatan dan pengobatan para pasien, namun juga menjadi tempat menimba ilmu para dokter baru.

Tak heran, bila penelitian dan pengembangan yang begitu gencar telah menghasilkan ilmu medis baru. Era kejayaan peradaban Islam ini telah melahirkan sejumlah dokter terkemuka dan berpengaruh di dunia kedokteran, hingga sekarang. `'Islam banyak memberi kontribusi pada pengembangan ilmu kedokteran,'' papar Ezzat Abouleish.

Sekolah kedokteran pertama yang dibangun umat Islam sekolah Jindi Shapur. Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah yang mendirikan kota Baghdad mengangkat Judis Ibn Bahtishu sebagai dekan sekolah kedokteran itu. Pendidikan kedokteran yang diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik. Era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka, seperti Al-Razi, Al-Zahrawi, Ibnu-Sina, Ibnu-Rushd, Ibn-Al-Nafis, dan Ibn- Maimon.

Al-Razi (841-926 M) dikenal di Barat dengan nama Razes. Pemilik nama lengkap Abu-Bakr Mohammaed Ibn-Zakaria Al-Razi itu adalah dokter istana Pangerang Abu Saleh Al-Mansur, penguasa Khorosan. Ia lalu pindah ke Baghdad dan menjadi dokter kepala di RS Baghdad dan dokter pribadi khalifah. Salah satu buku kedokteran yang dihasilkannya berjudul 'Al-Mansuri' (Liber Al-Mansofis).

Ia menyoroti tiga aspek penting dalam kedokteran, antara lain; kesehatan publik, pengobatan preventif, dan perawatan penyakit khusus. Bukunya yang lain berjudul 'Al-Murshid'. Dalam buku itu, Al-Razi mengupas tentang pengobatan berbagai penyakit. Buku lainnya adalah 'Al-Hawi'. Buku yang terdiri dari 22 volume itu menjadi salah satu rujukan sekolah kedokteran di Paris. Dia juga menulis tentang pengobatan cacar air.

Tokoh kedokteran lainnya adalah Al-Zahrawi (930-1013 M) atau dikenal di Barat Abulcasis. Dia adalah ahli bedah terkemuka di Arab. Al-Zahrawi menempuh pendidikan di Universitas Cordoba. Dia menjadi dokter istana pada masa Khalifah Abdel Rahman III. Sebagain besar hidupnya didedikasikan untuk menulis buku-buku kedokteran dan khususnya masalah bedah.

Salah satu dari empat buku kedokteran yang ditulisnya berjudul, 'Al-Tastif Liman Ajiz'an Al-Ta'lif' - ensiklopedia ilmu bedah terbaik pada abad pertengahan. Buku itu digunakan di Eropa hingga abad ke-17. Al-Zahrawi menerapkan cautery untuk mengendalikan pendarahan. Dia juga menggunakan alkohol dan lilin untuk mengentikan pendarahan dari tengkorak selama membedah tengkorak. Al-Zahrawi juga menulis buku tentang tentang operasi gigi.

Dokter Muslim yang juga sangat termasyhur adalah Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037 M). Salah satu kitab kedokteran fenomela yang berhasil ditulisnya adalah Al-Qanon fi Al- Tibb atau Canon of Medicine. Kitab itu menjadi semacam ensiklopedia kesehatan dan kedokteran yang berisi satu juta kata. Hingga abad ke-17, kitab itu masih menjadi referensi sekolah kedokteran di Eropa.

Tokoh kedokteran era keemasan Islam adalah Ibnu Rusdy atau Averroes (1126-1198 M). Dokter kelahiran Granada, Spanyol itu sangat dikagumi sarjana di di Eropa. Kontribusinya dalam dunia kedokteran tercantum dalam karyanya berjudul 'Al- Kulliyat fi Al-Tibb' (Colliyet). Buku itu berisi ramngkuman ilmu kedokteran. Buku kedokteran lainnya berjudul 'Al-Taisir' mengupas praktik-praktik kedokteran.

Nama dokter Muslim lainnya yang termasyhur adalah Ibnu El-Nafis (1208 - 1288 M). Ia terlahir di awal era meredupnya perkembangan kedokteran Islam. Ibnu El-Nafis sempat menjadi kepala RS Al-Mansuri di Kairo. Sejumlah buku kedokteran ditulisnya, salahsatunya yang tekenal adalah 'Mujaz Al-Qanun'. Buku itu berisi kritik dan penmbahan atas kitab yang ditulis Ibnu Sina.

Beberapa nama dokter Muslim terkemuka yang juga mengembangkan ilmu kedokteran antara lain; Ibnu Wafid Al-Lakhm, seorang dokter yang terkemuka di Spanyol; Ibnu Tufails tabib yang hidup sekitar tahun 1100-1185 M; dan Al-Ghafiqi, seorang tabib yang mengoleksi tumbuh-tumbuhan dari Spanyol dan Afrika.

Setelah abad ke-13 M, ilmu kedokteran yang dikembangkan sarjana-sarjana Islam mengalami masa stagnasi. Perlahan kemudian surut dan mengalami kemunduran, seiring runtuhnya era kejayaan Islam di abad pertengahan.

Rekam Medis, Warisan RS Al-Nuri

Pada era keemasan Islam, ibu kota pemerintahan selalu berubah dari dinasti ke dinasti. Di setiap ibu kota pemerintahan, pastilah berdiri rumah sakit besar. Selain berfungsi sebagai tempat merawat orang-orang yang sakit (RS), rumah sakit juga menjadi tempat bagi para dokter Muslim mengembangkan ilmu medisnya. Konsep yang dikembangkan umat Islam pada era keemasan itu hinga kini juga masih banyak memberikan pengaruh.

RS terkemuka pertama yang dibangun umat Islam berada di Damaskus pada masa pemerintahan Khalifah Al-Walid dari Dinasti Umayyah pada 706 M. Namun, rumah sakit terpenting yang berada di pusat kekuasaan Dinasti Umayyah itu bernama Al-Nuri. Rumah sakit itu berdiri pada 1156 M, setelah era kepemimpinan Khalifah Nur Al-Din Zinki pada 1156 M.

Pada masa itu, RS Al-Nuri sudah menerapkan rekam medis (medical record). Inilah RS pertama dalam sejarah yang menggunakan rekam medis. Sekolah kedokteran Al-Nuri juga telah meluluskan sederet dokter terkemuka, salah satunya adalah Ibn Al-Nafis - ilmuwan yang menemukan sirkulasi paru-paru. RS ini melayani masyarakat selama tujuh abad, dan bagiannya hingga kini masih ada.

RS penting lainnya yang dibangun umat Islam berada di Baghdad. Ketika Khalifah Harun Al-Rashid berkuasa, dia memerintahkan cucu Ibn-Bahtishu, yang juga dokter istana bernama Jibril untuk membangun RS Baghdad. RS ini berkembang menjadi sebuah pusat kesehatan yang amat penting. Salah satu pemimpinnya adalah Al-Razi, ahli penyakit dalam termasyhur.

RS terkemuka lainnya di Baghdad adalah Al-Adudi yang dibangun pada 981 M, setelah Khalifah Adud Al-Dawlah. Bangunan RS merupakan paling megah di Baghdad sebelum era modern. RS tersebut dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan yang paling lengkap dan terkemuka pada masanya. RS itu hancur lebur ketika bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan menyerang Baghdad pada 1258 M.

Ilmu kedokteran Islam juga berkembang di Mesir. Pada 872 M, Ahmed Ibn-Tulun membangun RS Al-Fusta di kota Al-Fustat, sekarang Kairo. Pada 1284 M, Khalifah Al-Mansur Qalawun juga membangun RS terkemuka bernama Al-Mansuri. Di Tunisia, pada 830 M, Pangeran Ziyadad Allah I membangun RS Al-Qayrawan di wilayah kota Al-Dimnah. RS ini sudah menerapkan pemisahan antara ruang tunggu pengunjung dan pasien.

Di Marokko, pada 1190 M, Khalifah Al-Mansur Ya'qub IbnuYusuf, membangun RS Marakesh. Itu adalah RS terbesar da terindah karena dihiasi taman yang penuh dengan bunga dan pohon buah-buahan. Ilmu medis juga berkembang pesat di Spanyol. Pada 1366 M, Pangeran Muhammed Ibn-Yusuf Ibn Nasr, membangun RS Granada di kota Granada.

Kontribusi Dokter Muslim

Bakteriologi
Ilmu yang mempelajari kehidupan dan klasifikasi bakteri. Dokter Muslim yang banyak memberi perhatian pada bidang ini adalah Al-Razi serta Ibnu Sina.
Anesthesia
Suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Ibnu Sina tokoh yang memulai mengulirkan ide menggunakan anestesi oral. Ia mengakui opium sebagai peredam rasa sakit yang sangat manjur.
Surgery
Bedah atau pembedahan adalah adalah spesialisasi dalam kedokteran yang mengobati penyakit atau luka dengan operasi manual dan instrumen. Dokter Islam yang berperan dalam bedah adalah Al-Razi dan Abu al-Qasim Khalaf Ibn Abbas Al-Zahrawi.
Ophthamology
Cabang kedokteran yang berhubungan dengan penyakit dan bedah syaraf mata, otak serta pendengaran. Dokter Muslim yang banyak memberi kontribusi pada Ophtamology adalah lbnu Al-Haytham (965-1039 M). Selain itu, Ammar bin Ali dari Mosul juga ikut mencurahkan kontribusinya. Jasa mereka masih terasa hingga abad 19 M.
Psikoterapi
Serangkaian metode berdasarkan ilmu-ilmu psikologi yang digunakan untuk mengatasi gangguan kejiwaan atau mental seseorang. Dokter Muslim yang menerapkan psikoterapi adalah Al-Razi serta Ibnu Sina.
(heri ruslan )


Read more!-Read more
<$BlogDateHeaderDate$>
Khazanah islam
sumber republika.co.id
Kamis, 14 Februari 2008 9:06:00

Bukhara Kota Pengetahuan

''Gudang pengetahuan!'' Begitu sastrawan besar Iran, Ali Akbar Dehkhoda menjuluki Bukhara -- salah satu kota penting dalam sejarah peradaban Islam. Penyair Jalaludin Rumi pun secara khusus menyanjung Bukhara.

''Bukhara sumber pengetahuan. Oh, Bukhara pemilik pengetahuan,'' ungkap Rumi dalam puisinya menggambarkan kekagumannya kepada Bukhara tanah kelahiran sederet ulama dan ilmuwan besar.

Konon, nama Bukhara berasal dari bahasa Mongol, yakni 'Bukhar' yang berarti lautan ilmu. Kota penting dalam jejak perjalanan Islam itu terletak di sebelah Barat Uzbekistan, Asia Tengah. Wilayah itu, dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan Wa Wara' an-Nahr atau daerah-daerah yang bertengger di sepanjang Sungai Jihun.

Letak Bukhara terbilang amat amat strategis, karena berada di jalur sutera. Tak heran, bila sejak dulu kala Bukhara telah menjelma menjadi pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, budaya dan agama. Di kota itulah bertemu pedagang dari berbagai bangsa di Asia barat termasuk Cina. Lalu sejak kapan Bukhara mulai dikenal?

Menurut syair kepahlawanan Iran, kota Bukhara dibangun oleh raja Siavush anak Shah Kavakhous, salah satu Shah dalam cerita dongeng Iran yang berasal dari Dinasti Pishdak. Secara resmi, kota itu berdiri ada sejak tahun 500 SM di wilayah yang kini disebut Arq. Namun, oasis Bukhara telah didiami manusia mulai tahun 3000 SM, yakni semasa zaman perunggu.

Wilayah Bukhara, sejak 500 SM sudah menjadi wilayah kekuasaan Kekaisaran Persia. Seiring waktu, Bukhara berpindang tangan dari satu kekuasaan ke kekuasaan lainnya, seperti Aleksander Agung, kekaisaran Hellenistic Seleucid, Greco-Bactaian, dan Kerajaan Kushan.

Selama masa itu, Bukhara menjadi pusat pemujaan Anahita. Dalam satu putaran bulan, penduduknya biasa merayakan ritual ibadah dengan mengganti berhala yang sudah usang dengan berhala yang baru. Sebelum Islam menaklukan wilayah itu, penduduk Bukhara adalah para penganut agama Zoroaster yang menyembah api.

Kehidupan penduduk Bukhara mulai berubah ketika tentara Islam datang membawa dakwah. Pada akhir tahun 672, Ziyad bin Abihi menugaskan Miqdam Rabi' bin Haris berlayar dari Irak menuju daerah Khurasan. Miqdam berhasil menaklukan wilayah itu sampai ke Iran Timur. Setelah Ziyad meninggal, Mu'awiyah, Khalifah Bani Umayyah memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad untuk menaklukan Bukhara.

Pasukan tentara Islam pertama menjejakan kaki di tanah Bukhara pada 674 M di bawah pimpinan panglima perang, Ubaidillah bin Ziyad. Namun, pengaruh Islam benar-benar mulai mendominasi wilayah itu pada 710 M di bawah kepemimpinan Kutaiba bin Muslim. Seabad setelah terjadinya Perang Talas, Islam mulai mengakar di Bukhara.

Tepat pada tahun 850 M, Bukhara telah menjadi ibu kota Dinasti Samanid. Dinasti itu membawa dan menghidupkan kembali bahasa dan budaya Iran ke wilayah itu. Ketika Dinasti Samanid berkuasa, selama 150 tahun Bukhara tak hanya menjadi pusat pemerintahan, namun juga sentra perdagangan.

Pedagang dari Asia Barat dan Cina bertemu di kota itu. Di kota Bukhara pun berkembang bisnis pembuatan kain sutera, tenunan kain dari kapas, karpet, katun, produk tembaga, dan perhiasan dari emas serta perak dengan berbagai bentuk. Bukhara pun kesohor sebagai pasar induk yang menampung produk dari Cina dan Asia Barat.

Selain itu, karena berada di sekitar Sungai Jihun, tanah Bukhara pun dikenal sangat subur. Buah-buahan pun melimpah. Kota Bukhara terkenal dengan buah-buahan seperti Barkouk Bukhara yang terkenal hampir seribu tahun. Geliat bisnis dan perekonomian pun tumbuh pesat. Tak heran, bila kemudian nama Bukhara makin populer.

Pada era keemasan Dinasti Samanid, Bukhara juga menjadi pusat intelektual dunia Islam. Saat itu, di kota Bukhara bermunculan madrasah-madrasah yang mengajarkan ilmu pengetahuan. Dinasti Samanid pun mulai memperbaiki sistem pendidikan umum. Di setiap perkampungan berdiri sekolah. Keluarga yang kaya-raya menndidikan putera-puterinya dengan sisitem home schooling atau sekolah di rumah.

Anak yang berusia enam tahun mulai mendapat pendidikan dasar selama enam tahun. Setelah itu, anak-naka di Bukhara bisa melanjutkan studinya ke madrasah. Pendidikan di madrasah dilalui dalam tiga tingkatan, masing-masing selama tujuh tahun. Keseluruhan pendidikan di madrasah harus ditempuh selama 21 tahun.

Para siswa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, mulai ilmu agama, aritmatika, jurisprudensi, logika, musik, serta puisi. Geliat pendidikan di Bukhara itu telah membawa pengaruh yang positif dalam penyebaran dan penggunaan bahasa Persia dan Uzbek.

Tak heran, kemampuan penduduk Bukhara dalam menulis, menguasai ilmu pengetahuan serta keterampilan berkembang pesat. Di tanah Bukahara pun kemudian lahir sederet ulama dan ilmuwan Muslim termasyhur.

Pada tahun 998 M, kekuasaan Dinasti Samanid berakhir dan digantikan Dinasti Salajikah. Tak lama kemudian, diambli alih Dinasti Khawarizm. Pada masa itu, status Bukhara sebagai pusat peradaban dan perkembangan Islam masih tetap dipertahankan. Ketika masa kekuasaan pemerintah Sultan Ala'udin Muhammad Khawarizm Syah berakhir, Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan pun mulai meredup.

Pada tahun 1220 M, peperangan hebat antara pasukan Sultan Ala'udin dengan pasukan Mongol di bawah komando Jengiz Khan meletus. Serangan bruta yang dilakukan 70 ribu pasukan Jengiz Khan tak mampu diredam. Bukhara pun jatuh ke tangan pasukan Mongol. Dengan kejam dan sadis, pasukan Mongol membantai penduduk kota, membakar madrasah, masjid dan bangunan penting lainnya.

Jengiz Khan meluluh-lantakan peradaban dan ilmu pengetahuan yang dibangun umat Islam di Bukhara. Bukhara rata dengan tanah. Ibnu Asir melukiskan kondisi Bukhara dengan kata-kata:ka an lam tagna bi al-amsi (seolah-olah tak ada apa-apa sebelumnya). Cahaya kemajuan peradaban yang ilmu pengetahuan yang terpancancar dari Bukhara pun meredup.

Nasib tragis ini, 38 tahun kemudian dialami pula oleh Baghdad, ketika Hulagu Khan keturunan Jengiz Khan menghancurkan metropolis intelektual abad pertengahan itu dengan bengis dan sadis.

Ulama dan Ilmuwan Besar dari Bukhara

Masa kejayaan Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan telah melahirkan sederet ulama dan ilmuwan besar dari Bukhara. Hal itu menunjukkan bahwa Bukhara memiliki pengaruh yang besar pada era keemasannya. Di antara tokoh-tokoh besar asal Bukhara itu memberi kontribusi yang besar bagi perkembangan agama Islam dan ilmu pengetahuan itu antara lain: Imam Bukhari

Imama Bukhari
Imam Bukhari terlahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H bertepatan dengan 21 Juli 810 M. Ia adalah ahli hadits termasyhur. Imam Bukhari dijuluki amirul mukminin fil hadits atau pemimpin kaum mukmin dalam hal ilmu hadits. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari.

Tak lama setelah lahir, Imam Bukhari kehilangan penglihatannya. Bersama gurunya Syekh Ishaq, ia menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dari satu juta hadits yang diriwayatkan 80 ribu perawi disaringnya menjadi 7.275 hadits. Ia menghabiskan waktunya untuk menyeleksi hadits shahih selama 16 tahun. Shahih Bukhari adalah salah satu karyanya.

Ibnu Sina
Terlahir di Afsyahnah, Bukhara pada 980 M. Ibnu Sina adalah seorang filsuf, lmuwan sekaligus dokter. Ia dijuluki sebagai 'Bapak Pengobatan Modern'. Buah pikir dan karyanya dituangkan dalam 450 buku, sebagaian besar mengupas filsafat dan kedokteran. Ibnu Sina merupakan ilmuwan Islam paling terkenal. Hasil pemikiran yang paling termasyhur dari Ibnu Sina adalah The Canon of Medicine (Al-Qanun fi At Tibb).

Selain itu, era tamadun Bukhara juga telah melahirkan sosok ulama dan Ilmuwan sepertih Abu Hafsin Umar bin Mansur Al-Bukhari yang dikenali dengan nama Al-Bazzar, Al-Hafiz Abu Zakaria Abdul Rahim Ibnu Nasr Al-Bukhari, Abdul rahim bin Ahmad Al-Bukhari, dan Abu Al-Abbas Al-Maqdisi Al-Hambali.

Di bidang sastra, Bukhara juga telah menghasilkan sederet sastrawan dan penyair kondang. Para penyair dan sastrawan kelahiran Bukhara telah menisbahkan nama mereka kepada Bukhara. Para penyair dan sastrawan dari Bukhara itu antara lain;i Ar-Raudaky, Fadhil Al-Bukhari, Am'aq Al-Bukhari, Al-Khajandi, Lutfullah An-Naisaburi, serta Ahmad Al-Karamani.

Bukhara di Era Modern

Meski masa kejayaannya telah berlalu pada abad ke-13 M, Bukhara masih memegang peranan yang penting di abad ke-19 M. Menurut Demezon, pada tahun 1833, Bukhara tetap menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keagamaan dan budaya di kawasan tersebut.

"Madrasah-madrasah di Bukhara masih terkenal hingga ke Turkistan. Pelajar-pelajar dari Khiva, Kokand, Gissar bahkan dari Samarkand dan kawasan Tatar berbondong-bondong belajar ke Bukhara. Ada sebanyak 60 madrasah di Bukhara yang sukses maupun kurang sukses," papar Demezon menggambarkan situasi Bukhara di abad ke-19.

Memasuki era modern, Bukhara berada di bawah kekuasaan Rusia. Bukhara pun dijadikan semacam bidak catur dalam 'permainan besar' antara Rusia dengan Inggris. Kota itu benar-benar merdeka selama revolusi komunis. Namun, Bukhara akhirnya masuk dalam kekuasaan Uni Soviet.

Menyusul terbentuknya Uni Soviet, Tajiks yang merupakan bagian dari Uzbekistan menuntut kemerdekaan. Rusia yang mendukung Uzbekistan atas Tajiks membenyerahkan kota yang secara tradisional berbahasa dan berbudaya Iran, yakni Bukhara dan Samarkand kepada Uzbekistan.
( heri ruslan )

Read more!-Read more