Product ...
www.flickr.com
This is a Flickr badge showing public photos from sartono_icmi. Make your own badge here.

Massage


Free chat widget @ ShoutMix

Other things ...

<$BlogDateHeaderDate$>
Timbuktu
Sumber Republika Selasa, 24 Juni 2008 13:33:00

Sungguh tragis nasib Timbuktu. Kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam di benua Afrika Barat itu, kini telah berubah menjadi wilayah yang terisolasi dan terpencil. Situasi dan pemandangan 'negeri di ujung dunia' itu, begitu kontras bila dibandingkan dengan Timbuktu 900 tahun lalu - ketika Islam mencapai kejayaannya di wilayah itu.

Sejarah mencatat, pada abad ke-12 M Timbuktu telah menjelma sebagai salah satu kota pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang termasyhur. Di era kejayaan Islam, Timbuktu juga sempat menjadi sentra perdagangan terkemuka di dunia. Rakyat Timbuktu pun hidup sejahtera dan makmur.

Secara gemilang, sejarawan Abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku yang ditulisnya. ''Begitu banyak hakim, doktor dan ulama di sini (Timbuktu). Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad - penguasa Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat belajar,'' tutur Africanus.

Di era keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di Timbuktu. Rakyat di wilayah itu begitu gemar membaca buku. Menurut Africanus, permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Sehingga, perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibanding bisnis lainnya.

Lalu bagaimanakah peradaban Islam bisa berkembang pesat di negeri yang berada nun jauh di ujung dunia itu? Tombouctou - begitu orang Prancis menyebut Timbuktu - adalah sebuah kota di negara Mali, Afrika Barat. Kota multietis itu dihuni oleh suku Songhay, Tuareg, Fulani, dan Moor. Secara geografis, Timbuktu terletak sekitar 15 kilometer dari Sungai Niger.

Kota Timbuktu didirikan suku Tuareg Imashagan pada abad ke-11 M. Alkisah, saat musim hujan, suku Tuareg menjelajahi padang rumput hingga ke Arawan untuk mengembalakan hewan peliharaan mereka. Ketika musim kering tiba, mereka mendatangi sungai Niger untuk mencari rumput. Ketika tinggal di sekitar sungai, suku Tuareg terserang sakit akibat gigitan nyamuk dan air yang menggenang.

Dengan kondisi yang kurang menguntungkan itu, mereka memutuskan untuk menetap beberapa mil dari sungai Niger dan mulai menggali sebuah sumur. Ketika musim penghujan datang, suku Turareg biasa meninggalkan barang-barang yang berat kepada seorang wanita tua bernama Tin Abutut - yang tinggal dekat sungai. Seiring waktu, nama Tin Abutut berubah menjadi Timbuktu.

Sejak abad ke-11 M, Timbuktu mulai menjadi pelabuhan penting - tempat beragam barang dari Afrika Barat dan Afrika Utara diperdagangkan. Pada era itu, garam merupakan produk yang amat bernilai. Di Timbuktu garam dijual atau ditukar dengan emas. Kemakmuran kota itu menarik perhatian para sarjana berkulit hitam, pedagang kulit hitam, dan saudagar Arab dari Afrika Utara.

Garam, buku, dan emas mejadi tiga komoditas unggulan yang begitu tinggi angka permintaannya pada era itu. Garam berasal dari wilayah Tegaza dan emas diproduksi dari tambang emas di Boure dan Banbuk. Sedangkan buku dicetak dan diproduksi para sarjana atau berkulit hitam dan ilmuwan dari Sanhaja. Proses pembangunan pertama kali berlangsung di Timbuktu pada awal abad ke-12 M. Para arsitek Afrika dari Djenne dan arsitek Muslim dari Afrika Utara mulai membangun kota itu. Pembangunan di Timbuktu berlangsung menandai berkembang pesatnya perdagangan dan ilmu pengetahuan. Saat itu, Raja Soso diserbu kerajaan Ghana. Sehingga, para ilmuwan dari Walata eksodus ke Timbuktu.

Timbuktu pun menjelma menjadi pusat pembelajaran Islam serta sentra perdagangan. Di abad ke-12 M, Timbuktu telah memiliki tiga universitas serta 180 sekolah Alquran. Ketiga universitas Islam yang sudah berdiri di wilayah itu antara lain; Sankore University, Jingaray Ber University, dan Sidi Yahya University. Inilah masa keemasan peradaban Islam di Afrika.

Guna memenuhi 'dahaga' masyarakat Muslim Timbuktu akan beragam pengetahuan, buku yang dijual di kota itu banyak yang didatangkan dari negeri Islam lainnya. Selain itu, tak sedikit pula buku-buku yang diperjualbelikan adalah hasil karya para ilmuwan dan sarjana di Tumbuktu. Di kota itu juga sudah ada industri percetakan buku.

Perpustakaan universitas dan milik pribadi pun bermunculan dengan beragam koleksi buku yang ditulis para ilmuwan. Ilmuwan terkemuka Timbuktu, Ahmad Baba, pada masa itu sudah memiliki perpustakaan pribadi dengan jumlah koleksi buku mencapai 1.600 judul. Perpustakaan Ahmad Baba itu tercatat sebagai salah satu perpustakaan kecil yang ada di Timbuktu.

Pada tahun 1325 M, Timbuktu mulai dikuasai Kaisar Mali, Masa Mussa (1307 M - 1332 M). Raja Mali yang terkenal dengan sebutan Kan Kan Mussa itu begitu terkesan dengan warisan Islam di Timbuktu. Sepulang menunaikan haji di Makkah, Sultan Musa membawa seorang arsitek terkemuka asal Mesir bernama Abu Es Haq Es Saheli. Sang sultan menggaji arsitek itu dengan 200 kilogram emas untuk membangun Masjid Jingaray Ber - masjid untuk shalat Jumat.

Sultan Musa juga membangun istana kerajaannya atau Madugu di Timbuktu. Padamasa kekuasaannya, Musa juga membangun masjid di Djenne dan masjid agung di Gao (1324 M - 1325 M) - kini tinggal tersisa fondasinya saja. Kerajaan Mali mulai dikenal di seluruh dunia, ketika Sultan Musa menunaikan ibadah haji di tanah Suci, Makkah pada tahun 1325 M.

Sebagai penguasa yang besar, dia membawa 60 ribu pegawai dalam perjalanan menuju Makkah. Hebatnya, setiap pegawai membawa tiga kilogram emas. Itu berarti dia membawa 180 ribu kilogram emas. Saat Sultan Musa dan rombongannya singgah di Mesir, mata uang di Negeri Piramida itu langsung anjlok. Pesiar yang dilakukan sultan itu membuat Mali dan Timbuktu mulai masuk dalam peta pada abad ke-14 M.

Kesuksesan yang dicapai Timbuktu membuat seorang kerabat Sultan Musa, Abu Bakar II menjelajah samudera dengan menggunakan kapal. Abu Bakar dan tim ekspedisi maritim yang dipimpinnya meninggalkan Senegal untuk berlayar ke Lautan Atlantik. Pangeran Kerajaan Mali itu kemungkinan yang menemukan benua Amerika. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan bahasa, tradisi dan adat Mandika di Brasil.

Sayang, kejayaan Timbuktu terus meredup seiring bergantinya zaman. Kini Timbuktu hanyalah sebuah kota terpencil yang lemah. Bahkan nyaris terlupakan. Mungkinkah peradaban Islam bangkit kembali di negeri itu? heri ruslan



Read more!-Read more
Tiga Ilmuwan Penemu Kaca
Sumber Republika, Senin, 23 Juni 2008

Abbas Ibnu Firnas (810 M - 887 M)

Nama lengkapnya adalah Abbas Qasim Ibnu Firnas. Orang Barat biasa memanggilnya dengan sebutan Armen Firman. Sejatinya, dia begitu populer sebagai perintis dalam dunia penerbangan. Ilmuwan yang terlahir di Ronda, Spanyol pada tahun 810 M itu dikenal sebagai oahli dalam bidang kimia dan memiliki karakter yang humanis, kreatif, dan kerap menciptakan barang- barang berteknologi baru saat itu.

Salah satu penemuannya yang terbilang amat penting adalah pembuatan kaca silika serta kaca murni tak berwarna. Ibnu Firnas juga dikenal sebagai ilmuwan pertama yang memproduksi kaca dari pasir dan batu-batuan. Kejernihan kaca atau gelas yang diciptakannya itu mengundang decak kagum penyair Arab, Al-Buhturi (820 M - 897 M).

Sarjana Muslim yang hobi bermain musik dan berpuisi itu hidup pada saat pemerintahan Khalifah Umayyah di Andalusia. Pada tahun 852 M, di bawah pemerintahan khalifah baru, Abdul Rahman II, Ibnu Firnas membuat pengumuman yang menghebohkan warga Cordoba saat itu dia melakukan uji coba terbang dari menara Masjid Mezquita dengan menggunakan `sayap' yang dipasangkan di tubuhnya.

Jabir Ibnu Hayyan
Tak kurang dari 200 kitab berhasil dituliskannya. Sebanyak 80 kitab yang ditulisnya itu mengkaji dan mengupas seluk-beluk ilmu kimia. Atas prestasinya itu, ilmuwan kebanggaan umat Islam yang bernama lengkap Abu Musa Jabir Ibnu Hayyan itu didapuk sebagai pelatak dasar kimia modern.

Ilmuwan yang terlahir di Tus, Khurasan, Iran pada 721 M itu juga turut berkontribusi mengembangkan kaca atau gelas. Pada abad ke-8 M, ahli kimia itu secara mengejutkan telah menjelaskan tak kurang dari 58 resep orisinil untuk memproduksi gelas atau kaca berwarna. Rumus pembuatan kaca berwarna itu dituliskannya dalam dua kitab yang dituliskannya selama hidup.

Dalam Kitab al-Durra al-Maknuna atau The Book of the Hidden Pearl, dia mengupas sebanyak 46 rumus atau formula untuk memproduksi kaca atau gelas dari sudut pandang kimia. Sebanyak 12 resep atau rumus pembuatan kaca atau gelas lainnya dipaparkan Ibnu Hayyan dalam Kitab Al-Marrakishi.

Ibnu Sahl
Nama lengkapnya dalah Abu Sa`d al-`Ala' Ibnu Sahl (940 M - 1000 M). Dia adalah ahli matematika Muslim sekaligus insinyur yang mengkaji studi tentang optik. Dia mendedikasikan dirninya di Istana kehalifahan di Baghdad. Sekitar tahun 984 M, dia menulis risalah berjudul On Burning Instrument. Dialah ilmuwan yang pertama kali menjelaskan tentang cermin parabola. Atas kontribusinya itu, dunia Islam tercatat sebagai yang pertama menciptakan kaca cermin yang jelas. hri
( )



Read more!-Read more
Kaca, Warisan Peradaban Islam
Sumber Republika Senin, 23 Juni 2008

Seni membuat kaca atau gelas merupakan salah satu pencapaian yang pernah ditorehkan peradaban Islam di era keemasan. Namun pencapaian umat Islam yang begitu tinggi itu seakan dinihilkan peradaban Barat. Para ahli kaca atau gelas Barat tak pernah menghitung keberhasilan serta warisan yang telah disumbangkan umat Islam dalam pembuatan kaca serta gelas.

Seakan ingin menutupi keberhasilan yang pernah dicapai umat Islam, para ahli kaca di Barat selalu menonjolkan kemewahan seni pembuatan kaca di Eropa. Padahal, teknologi dan teknik pembuatan kaca atau gelas yang dikuasai Barat, saat ini, merupakan hasil transfer pengetahuan dan teknologi dari dunia Islam.

''Apa yang dilakukan para ahli kaca atau gelas Barat sungguh tak adil, karena menyembunyikan nilai-nilai seni kaca Islami serta menihilkan pencapaian yang sesungguhnya,'' kata Norman A Rubin dalam tulisannya berjudul Islamic Glass Treasure: The Art of Glass Making in the Islamic World.

Berbicara mengenai sejarah seni pembuatan kaca atau, papar Rubin, prestasi gemilang yang telah ditorehkan dunia Islam tak bisa dilupakan. Para seniman Muslim telah memberi sumbangan yang begitu besar dalam pembuatan kaca atau gelas. Menurut Rubin, para seniman Muslim itu telah menciptakan bentuk dan pola baru dalam teknik pembuatan kaca atau gelas..

''Para seniman Muslim telah melahirkan ruh serta semangat artistik baru dan pendekatan seni Islam," ungkap Rubin. Sejatinya, seni pembuatan kaca atau gelas memang telah berkembang sebelum ajaran Islam diturunkan. Ketika umat Islam mulai membentangkan wilayah kekuasaan pada abad ke-7 M, pembuatan gelas atau kaca telah berkembang di Mesir dan kawasan Asia barat..

Namun, sejak kekhalifahan Islam menguasai wilayah sentra-sentra pembuatan gelas atau kaca, teknologi, dan teknik pembuatan produk pecah-belah itu berkembang dengan sangat pesat. Stefano Carboni dan Qamar Adamjee dari The Metropolitan Museum of Art dalam tulisannya berjudul Glass from Islamic Lands memaparkan, dari abad ke-7 hingga 14 M, produksi kaca atau gelas didominasi oleh negeri-negeri Islam..

Tak cuma itu, inovasi serta teknologi yang digunakan untuk memproduksi gelas atau kaca di era kekhalifahan begitu sangat tinggi. ''Inilah fase yang gemilang dalam seni pembuatan gelas serta kaca,'' papar Stefano dan Qamar Adamjee. Teknik serta teknologi pembuatan kaca atau gelas yang diciptakan peradaban Islam dapat dipelajari dengan lebih baik berdasarkan teknik manipulasinya..

Beragam teknik pembuatan kaca atau gelas di dunia Islam yang mudah dipelajari itu begitu berpengaruh terhadap dunia Barat. Pada abad ke-17 M, peradaban Barat menyerap beragam teknik pembuatan kaca itu dari peradaban Islam. Sayangnya, setelah menguasai teknik dan teknologi pembuatan kaca atau gelas, peradaban Barat lalu berupaya menyembunyikan pencapaian yang ditotehkan umat Islam..

Sejarah mencatat, sejak abad ke-9 M, seni pembuatan kaca di dunia Islam sudah menemukan bentuknya dan mulai berani tampil beda. Laiknya pembuatan keramik, dekorasi arsitektur dan barang-barang dari kayu, seni pembuatan gelas atau kaca era kekuasaan Dinasti Abbasiyah mulai menampakkan rasa serta nilai-nilai seni Islam..

Meski proses imitasi dari gelas Romawi masih berlangsung, namun para seniman Muslim mulai mengembangkan pembuatan kaca serta gelas dengan corak dan gaya artistik yang khas, yakni menonjolkan nilai-nilai keislaman. Elif Gokcidge dalam tulisannya bertajuk Fragile Beauty Islamic Glass, ciri khas teknik utama pembuatan gelas atau kaca pada periode itu adalah kaca dekorasi relief-cut dengan teknik cold-cut. Para seniman Muslim mencoba menampilkan efek cameo (batu berharga yang latar belakangnya berwarna lain). Selain itu, kaca yang dibuat juga sudah memiliki dua lapis warna berbeda. Corning Ewer merupakan salah satu kaca cameo yang sangat Indah yang diciptakan para seniman Muslim..

Memasuki abad ke-11 M, barang pecah belah yang berwarna-warni serta dilapisi hiasan mulai menjadi trend di dunia Islam. Hiasan dalam kaca atau gelas pada era itu tak hanya dicetak namun juga sudah dipahat. Motif bunga-bunga serta gambar hewan dan manusia menjadi ciri khas hiasan pada kaca atau gelas di abad itu..

Salah satu pencapaian yang terpenting dalam sejarah pembuatan kaca atau gelas di dunia Islam terjadi pada abad ke-13 M. Kala itu, secara mengejutkan para seniman pembuat kaca di Mesir dan Suriah sudah mempu membuat kaca atau dengan dilapisi warna-warna polychrome untuk pertama kalinya..

Teknik membuat gelas atau kaca ini dilakukan dengan mengecat kaca dengan kuas dan kemudian membakarnya selama beberapa kali. Pembakaran secara berulang dilakukan untuk mendapatkan warna yang diinginkan. Jenis warna yang akan muncul pada gelas itu ditentukan struktur pigmen bahan kimia yang digunakan..

Di abad ke-14, terjadi perubahan pada cita rasa artistik kaca atau gelas Islam. Pola serta corak bunga-bunga dan geometrisnya lebih menonjol. Hal itu sangat tampak dari beragam perabotan pecah-belah yang dihasilkan pada era kekuasaan Dinasti Mamluk yang berkuasa di wilayah Mesir dan Suriah. Cita rasa artistik gelas serta kaca yang lebih menonjolkan corak flora dan geometris itu tampak pada lampu gantung, vas bunga, serta botol-botol yang diproduksi saat itu..

Peradaban Barat mulai terpikat dengan produk gelas serta kaca Islam ketika terjadi Perang Salib. Para serdadu dan petinggi Tentara Perang salib dengan bangga membawa gelas porselen dari Yerusalem sebagai buah tangan ke negeri asalnya. Mereka menyimpan produk gelas serta kaca yang dibuat para seniman Islam itu di gereja dan tempat-tempat khusus..
Mulai abad ke-14 M, para seniman Barat, khususnya di Venicia mulai belajar membuat gelas atau kaca sendiri. Beragam produk pecah belah yang dihasilkan seniman Muslim menjadi inspirasi bagi para seniman Barat. Selain itu, seniman di Venicia juga diuntungkan dengan kemudahan mendapatkan bahan baku pembuatan gelas yang berkualitas yang diimpor dari Mesir dan Suriah..

Industri barang pecah belah berkualitas yang dihasilkan dunia Islam hanya mampu bertahan hingga abad ke-17 M. Seiring meredupnya kejayaan pemerintahan Islam, seni pembuatan barang pecah-belah mulai diambil-alih peradaban Barat. heri ruslan.
( )



Read more!-Read more
Kaca Email Kekayaan Dunia Islam
Sumber Republika Senin, 23 Juni 2008


Sejarah Islam mencatat kaca email atau enamel glass merupakan jenis kaca yang paling berharga dalam sejarah Islam. Kaca atau gelas jenis ini diproduksi secara khusus di wilayah yang dikuasai Dinasti Ayyubiyah dan Mamluk, yakni Mesir dan Suriah pada abad ke-13 M hingga 14 M. Kaca yang begitu populer itu dihiasi dengan email serta emas.

Teknik pembuatan kaca jenis ini dilakukan dengan memoleskan email atau emas di atas permukaan menggunakan medium berbahan minyak serta sikat atau sebuah pena buluh. Lantaran sepuh dan warna setiap email memiliki kualitas kimiawi berbeda, suhu berbeda dibutuhkan untuk memastikan agar warna menempel secara kuat dan tepat pada kaca atau gelas.

Pada era itu, kaca atau gelas email dibuat sebagai hadiah yang bernilai tinggi. Produk pecah belah dari kaca atau gelas email juga hanya digunakan untuk acara-cara tertentu yang terbilang istimewa. Meski begitu, kaca atau gelas email tak hanya diproduksi untuk memenuhi kebutuhan istana kekhalifahan saja. Namun, kaca atau gelas khas dari dunia Islam itu juga diproduksi untuk tujuan komersial.

Awalnya, kaca atau gelas email dikembangkan para seniman di Suriah. Itu terjadi setelah kekuasaan Dinasti Fatimiah di Mesir mulai tumbang pada tahun 1171 M. Para pembuat kaca atau gelas pun bermigrasi ke Suriah. Di negeri itulah, mereka mulai mengembangkan seni pembuatan gelas atau kaca email serta kaca sepuh.

Namun, begitu kota Kairo dijadikan ibukota pemerintahan Dinasti Ayyubiyah dan Mamluk pada abad ke-14, kaca atau gelas email serta kaca sepuh lebih banyak diproduksi di Mesir, ketimbang Suriah. Pada akhir abad ke-14, produksi kaca email mulai anjlok. Bahkan, seiring dengan berakhirnya kekuasaan dinasti-dinasti, pada akhir abad ke-15 M industri kaca email pun mulai gulung tikar.

Sejak saat itu, produksi gelas atau kaca email mulai beralih ke Eropa, yakni Venisia. Barang pecah-belah hiasan yang terkemuka buatan para seniman Muslim di era kekhalifahan adalah lampu masjid. hri
( )


Read more!-Read more
Industri Minyak di Dunia Islam
Sumber Republika Kamis, 19 Juni 2008

Pada abad ke-9 M, ilmuwan Muslim bernama Muhammad Al-Razi (864- 925) telah berhasil memproduksi minyak tanah untuk lampu dan pemanas.
Dunia Islam dikenal memiliki cadangan minyak yang melimpah ruah. Dari dulu hingga kini negara-negara Muslim di kawasan Teluk dan Semenanjung Arab menjadi produsen minyak terbesar di dunia. Tak heran, jika anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) didominasi negaranegara Muslim, seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, Qatar, serta Uni Emirat Arab.

Industri minyak di dunia Islam telah dimulai sejak abad ke-7 M. Dr A Zahoor dalam tulisannya berjudul Muslims and the Oil Industries mengungkapkan, era minyak di dunia Muslim diawali dengan kisah penghianatan. Guna mematahkan perlawanan kaum Muslim yang hendak menguasai Konstantinopel, Kaisar Constantine IV memerintahkan panglima tinggi militernya untuk bekerja sama dengan seorang penghianat dari Damaskus dalam sebuah operasi rahasia.

Pasukan Constantine akhirnya mampu mengalahkan perlawanan tentara Muslim dengan senjata berteknologi minyak yang diciptakan para ilmuwan dari Dinasti Umayyah pada tahun 680 M. Peristiwa itu menandakan bahwa umat Islam di era kekhalifahan sudah menguasai teknologi pe ngo lahan minyak. Sebuah pencapaian teknologi yang sangat tinggi pada zamannya.

Sejatinya, menurut Zahoor, manusia kuno yang tinggal di dunia Islam seperti Kuwait, Irak, Iran dan Azerbaijan, Turkmenistan dan Uzbekistan sudah mengenal minyak dan gas. “Orang Mesopotamia yang pertama kami membangun beberapa peradaban telah mengenal minyak mentah yang berasal dari sumur alam,” ungkap Zahoor. Sebuah manuskrip Akkadian bertarikh 2200 SM menyebut minyak mentah dengan istilah naptu –– berasal dari bahasa Arab yakni naft.

Saat pasukan tentara Muslim tiba di Irak dan Persia sekitar tahun 640 M, di kedua wilayah itu ditemukan ratusan lubang sumur minyak yang terbuka. Menurut catatan sejarah, mulai abad ke-10 M, Provinsi Faris di Persia telah menyumbangkan hampir 90 metrik ton minyak setiap tahunnya untuk bahan bakar lampu di istana khalifah. Sejarawan Muslim, Ibnu Adam menceritakan permintaan dan kebutuhan minyak di era kekhalifahan begitu tinggi.

Akibat tingginya kebutuhan akan minyak membuat gubernur Arab di Irak Utara menghentikan penarikan pajak minyak dan merkuri. Kebijakan itu dilakukan sebagai sebuah insentif agar produksi minyak dari wilayah itu bisa semakin tinggi. Sejarah mencatat, sejumlah sumur minyak yang luas telah mulai dioperasikan di Irak dan wilayah se kitarnya pada abad ke-8 M.

Sumur minyak yang paling strategis dan penting berada di Dir al-Qayyara ñ dekat kota Mosul. Sumur minyak itu mendapat penjagaan yang ketat pada siang dan malam dari tentara kekhalifahan.

Pada era itu, umat Islam tak hanya mengeksplorasi minyak. Peradaban Islam pada masa itu juga mulai menggunakan aspal untuk menghaluskan jalan-jalan di kota-kota utama. Di awal abad ke-13, ahli geografi bernama Yaqut secara gamblang menjelaskan bagaimana umat Islam menciptakan aspal dan menggunakannya untuk menghaluskan jalan. Perabadan Islam menggunakan aspal jauh lebih dulu dibanding kan peradaban Barat. Eropa pertama kali mengenal dan menggunakan aspal pada abad ke-19 M. Yakni, saat jalan di kota Paris berlapiskan aspal pada tahun 1838.

Sejarawan Muslim dari abad ke-10 M, Al-Mas’udi mencatat ten tang ladang-ladang minyak yang tersebar luas di daratan negeri Muslim. Sang sejarawan menyaksikan sumur-sumur minyak ter serak di Sicilia, Oman, Hadramaut, Irak, Persia, Turkmenistan, Taskent, India dan di wilayah Pulau Sumetera. Ia begitu takjub dengan jumlah minyak yang diproduksi negaranegara Muslim, kala itu. Ia menyebut negeri-negeri itu sebagai bilad al-naffata alias ‘negeri minyak’.

Kekhalifahan Islam mulai menerapkan pajak minyak pada saat Khalifah Abbasiyah, Al-Mansur (754-775) memberlakukan pungutan atas produksi minyak. Itulah pajak pertama yang diberlakukan atas produksi minyak dan hingga kini masih tetap berlaku di seantero dunia. Begitu melimpahnya produksi minyak yang dihasilkan, Kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad mengangkat wali al-naft atau pengelola minyak di setiap daerah yang memproduksi minyak.

Pada abad ke-9 M, ilmuwan Muslim bernama Muhammad Al- Razi (864-925) telah berhasil memproduksi minyak tanah untuk lampu dan pemanas.

Dalam kitab yang ditulisnya berjudul Kitab Al-Asrar— Rhazes begitu orang Barat menyebutnya ñ telah mengungkapkan dua metode penyulingan untuk membuat minyak tanah. Metode penyulingan pertama menggunakan tanah liat dan yang kedua menggunakan ammonium khlorida.

Penyulingan itu dilakukan berulang-ulang sampai hasil sulingan benar-benar bersih dan amat digunakan untuk lampu. Minyak tanah bisa digunakan apabila pecahan hidrokarbon sudah menguap. Minyak tanah untuk lampu telah digunakan perabadan Muslim di zaman keemasan lebih dari 1.000 tahun sebelum masyarakat Barat mengenalnya. Itu berarti negeri-negeri Barat masih dicengkram gelapgulita, ketika kota-kota Islam bertabur cahaya di waktu malam.

Pada abad ke-10, kota Cordoba –– Eropa Muslim –– telah terangbenderang di malam hari. Di era kepemimpinan Khalifah Abdurrahman II (912-976), Masjid Cordoba saja diterangi 4.700 lampu dan menghabiskan minyak sekitar 11 ton per tahunnya. Para sejarawan juga melukiskan, jalan-jalan di Cor doba yang mulus dan licin pada malam hari terang-benderang bertaburkan cahaya lampu.

Proses penyulingan yang digunakan untuk memproduksi minyak tanah sudah mulai sempurna pada abad ke-9 M. Minyak tanah di dunia dikenal dengan nama naft abyad atau minyak putih. Seorang sarjana terkemuka dari Persia di abad ke-15 M, Abu Tahir Al-Fayruzabadi dalam catatan perjalannya berjudul Al- Qamus Al-Muhit menuturkan bahwa minyak terbaik adalah minyak putih.

Sang pengembara itu juga menuturkan bahwa minyak tanah untuk bahan bakar lampu pada masa itu telah dijual bebas, laiknya obat. Abu Tahir juga mengungkapkan bahwa industri minyak sudah berjalan dengan pesat. Begitulah dunia Islam memulai produksi minyaknya di abad ke-7 M. Hingga kini, dunia Islam masih menjadi produsen utama minyak bumi alias bahan bakar fosil.

Sang Penemu Metode Produksi Minyak

Terlahir di Rayy, Provinsi Khurasan dekat Teheran tahun 864 M, Al-Razi dikenal sebagai seorang dokter dan ahli kimia yang hebat. Sejatinya, ilmuwan Muslim yang dikenal Barat sebagai Rhazes itu bernama lengkap Abu Bakar Muhammad ibnu Zakariya. Al-Razi muda yang dikenal amat gemar memainkan harpa sudah mulai jatuh hati pada ilmu kimia.

Ia menimba ilmu dari Ali ibnu Rabban al-Tabari (808 M) — seorang dokter sekaligus filosof. Sang gurulah yang telah melecut minat Rhazes untuk menekuni dua bidang ilmu yakni kedokteran dan filsafat. Hingga kelak, dia menjadi seorang filosof, dokter dan ahli kimia yang amat populer di zamannya.

Al-Razi merupakan ilmuwan yang sangat produktif. Tak kurang dari 200 buku berhasil dituliskannya. Kitabnya yang paling terkenal dan fenomenal adalah Kitab Al Mansur, Kitab Al Hawi, Kitab Al Asrar atau ‘Kitab Rahasia’. Dalam ìKitab Rahasiaî itulah Al-Razi melahirkan terobosan yang mencengangkan, yakni dua metode untuk memproduksi minyak tanah atau minyak lampu.

Metode pertama untuk memroduksi minyak tanah yang ditemukan Al- Razi adalah dengan menggunakan tanah liat sebagai penyerap. Sedangkan, metode kedua menggunakan ammonium khlorida.

Penyulingan minyak dengan kedua metode itu dilakukan secara berulang-ulang sampai hasil sulingan benar-benar bersih dan amat digunakan untuk lampu. Minyak tanah bisa digunakan apabila pecahan hidrokarbon sudah menguap.

Sejarah juga mencatat bahwa Al- Razilah-lah, Ilmuwan pertama yang mengungkapkan minyak tanah untuk lampu atau naffatah. Minyak tanah temuannya itu digunakan untuk bahan bakar pemanas dan penerangan alias lampu. Kitab Al-Asrar yang ditulisnya telah digunakan industri lampu minyak dari zaman ke zaman.

Selain sebagai ahli kimia, Al-Razi banyak memberi kontribusi dalam ilmu kedokteran. Penguasannya yang amat luas dan mendalam dalam kedokteran telah membuat namanya populer baik di Barat maupun di Timur. Tak heran, jika dia dipandang sebagai dokter terbesar abad pertengahan dan seorang dokter Muslim yang tiada bandingnya.

Al-Razi sempat memimpin rumah sakit di Rayy, Iran pada usia 30 tahun. Ia juga sempat mengelola dan memimpin rumah sakit di Bagdad. Buku kedokterannya yang paling terkenal adalah Al-Tibb Al-Mansur yang dipersembahkan kepada Gubernur al-Mansur, al-Hawi. Selain itu, ensiklopedi ilmu kedokteran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1279 menjadi rujukan sekolah kedokteran di Eropa hingga abad ke-17 M.

Ia wafat di tanah kelahirannya pada usia 62 tahun, yaitu pada 25 Oktober 925 M.

Minyak untuk Kedokteran di Era Kekhalifahan

Di era kekhalifahan, minyak tak cuma digunakan sebagai bahan bakar. Seorang dokter terkemuka dari Basra, Irak bernama Masarjawah dalam kitab Qiwa Al-‘Aqaqir menyebutkan ‘minyak putih’ — sebutan minyak tanah dapat digunakan sebagai obat. Itulah pertama kalinya, dunia kedokteran Islam menjadikan minyak tanah sebagai bahan pengobatan.

Penemuan itu berawal dari permintaan para jenderal perang Muslim yang meminta Masarjawah membuatkan buku petunjuk bagi para petugas medis yang diterjunkan ke medan perang. Beserta para dokter lainnya, Masarjawah melakukan studi dan pencarian untuk menyusun buku panduan bagi petugas medis saat peperangan. Selain mengadopsi resep herbal dari berbagai negara seperti Mesir, Masarjawah memperkenalkan minyak tanah sebagai salah satu obat.

Dalam buku petunjuk yang ditulisnya itu, Masarjawah memperkenalkan bahwa minyak sangat berguna untuk melawan penyakit dan infeksi. Tak heran, bila dari zaman ke zaman para dokter lainnya menerapkan motede penyembuhan minyak tanah yang digunakan Masarjawah.

Dalam kitabnya yang kini telah hilang itu Masarjawah berkata, “Minyak hangat, terutama minyak tanah bila diminum dalam dosis kecil sangat bagus untuk meredakan batuk, asma, serta radang sendi.” Begitulah para ilmuwan Islam membuat terobosan demi terobosan dalam ilmu pengetahuan.
( heri ruslan )


Read more!-Read more
Al-Biruni Ilmuwan Pendiri Tiga Ilmu
Sumber Republika Selasa, 17 Juni 2008

''Dia adalah salah satu ilmuwan terbesar dalam seluruh sejarah manusia.'' Begitulah AI Sabra menjuluki Al-Biruni -- ilmuwan Muslim serba bisa dari abad ke-10 M. Bapak Sejarah Sains Barat, George Sarton pun begitu mengagumi kiprah dan pencapaian Al-Biruni dalam beragam disiplin ilmu. ''Semua pasti sepakat bahwa Al-Biruni adalah salah seorang ilmuwan yang sangat hebat sepanjang zaman,'' cetus Sarton.

Bukan tanpa alasan bila Sarton dan Sabra mendapuknya sebagai seorang ilmuwan yang agung. Sejatinya, Al-Biruni memang seorang saintis yang sangat fenomenal. Sejarah mencatat, Al-Biruni sebagai sarjana Muslim pertama yang mengkaji dan mempelajari tentang seluk beluk India dan tradisi Brahminical. Dia sangat intens mempelajari bahasa, teks, sejarah, dan kebudayaan India.

Kerja keras dan keseriusannya dalam mengkaji dan mengeksplorasi beragam aspek tentang India, Al-Biruni pun dinobatkan sebagai 'Bapak Indologi' -- studi tentang India. Tak cuma itu, ilmuwan dari Khawarizm, Persia itu juga dinobatkan sebagai 'Bapak Geodesi'. Di era keemasan Islam, Al-Biruni ternyata telah meletakkan dasar-dasar satu cabang keilmuan tertua yang berhubungan dengan lingkungan fisik bumi.

Selain itu, Al-Biruni juga dinobatkan sebagai 'antropolog pertama' di seantero jagad. Sebagai ilmuwan yang menguasai beragam ilmu, Al-Biruni juga menjadi pelopor dalam berbagai metode pengembangan sains. Sejarah sains mencatat, ilmuwan yang hidup di era kekuasaan Dinasti Samanid itu merupakan salah satu pelopor merote saintifik eksperimental.

Dialah ilmuwan yang bertanggung jawab untuk memperkenalkan metode eksperimental dalam ilmu mekanik. Al-Biruni juga tercatat sebagai seorang perintis psikologi eksperimental. Dia juga merupakan saintis pertama yang mengelaborasi eksperimen yang berhubungan dengan fenomena astronomi. Sumbangan yang dicurahkannya untuk pengembangan ilmu pengetahuan sungguh tak ternilai.

Al-Biruni pun tak hanya menguasai beragam ilmu seperti; fisika, antropologi, psikologi, kimia, astrologi, sejarah, geografi, geodesi, matematika, farmasi, kedokteran, serta filsafat. Dia juga turun memberikan kontrbusi yang begitu besar bagi setiap ilmu yang dikuasainya itu. Dia juga mengamalkan ilmu yang dikuasainya dengan menjadi seorang guru yang sangat dikagumi para muridnya.

Ilmuwan kondang itu bernama lengkap Abu Rayhan Muhammed Ibnu Ahmad Al-Biruni. Dia terlahir menjelang terbit fajar pada 4 September 973 M di kota Kath - sekarang adalah kota Khiva - di sekitar wilayah aliran Sungai Oxus, Khwarizm (Uzbekistan). Sejarah masa kecilnya tak terlalu banyak diketahui. Dalam biografinya, Al-Biruni mengaku sama sekali tak mengenal ayahnya, hanya sedikit mengenal tentang kakeknya.

Selain menguasai beragam ilmu pengetahuan, Al-Biruni juga fasih sederet bahasa seperti Arab, Turki, Persia, Sansekerta, Yahudi, dan Suriah. Al-Biruni muda menimba ilmu matematika dan Astronomi dari Abu Nasir Mansur. Menginjak usia yang ke-20 tahun, Al-Biruni telah menulis beberapa karya di bidang sains. Dia juga kerap bertukar pikiran dan pengalaman dengan Ibnu Sina - ilmuwan besar Muslim lainnya yang begitu berpengaruh di Eropa.

Al-Biruni tumbuh dewasa dalam situasi politik yang kurang menentu. Ketika berusia 20 tahun, Dinasti Khwarizmi digulingkan oleh Emir Ma'mun Ibnu Muhammad, dari Gurganj. Saat itu, Al-Biruni meminta perlindungan dan mengungsi di Istana Sultan Nuh Ibnu Mansur. Pada tahun 998 M, Sultan dan Al-Biruni pergi ke Gurgan di Laut Kaspia. Dia tinggal di wilayah itu selama beberapa tahun.

Selama tinggal di Gurgan, Al-Biruni telah menyelesaikan salah satu karyanya yakni menulis buku berjudul The Chronology of Ancient Nations. Sekitar 11 tahun kemudian, Al-Biruni kembali ke Khwarizmi. Sekembalinya dari Gurgan dia menduduki jabatan yang terhormat sebagai penasehat sekaligus pejabat istana bagi penggati Emir Ma'mun. Pada tahun 1017 M, situasi politik kembali bergolak menyusul kematian anak kedua Emir Ma'mun akibat pemberontakan.

Khwarizmi pun diinvasi oleh Mahmud Ghazna pada tahun 1017 M. Mahmud lalu membawa para pejabat Istana Khwarizmi untuk memperkuat kerjaannya yang bermarkas di Ghazna, Afghanistan. AL-Biruni merupakan salah seorang ilmuwan dan pejabat istana yang ikut diboyong. Selain itu, ilmuwan lainnya yang dibawa Mahmud ke Ghazna adalah matematikus, Ibnu Iraq, dan seorang dokter, Ibnu Khammar.

Untuk meningkatkan prestise istana yang dipimpinnya, Mahmud sengaja menarik para sarjana dan ilmuwan ke Istana Ghazna. Mahmud pun melakukan beragam cara untuk mendatangkan para ilmuwan ke wilayah kekuasaannya. Ibnu Sina juga sempat menerima undangan bernada ancaman dari Mahmud agar datang dan mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya di istana Ghazna.

Meski Mahmud terkesan memaksa, namun Al-Biruni menikmati keberadaannya di Ghazna. Di istana itu, dia dihormati dan dengan leluasa bisa mengembangkan pengetahuan yang dikuasainya. Salah satu tugas Al-Biruni adalah menjadi astrolog isatana bagi Mahmud dan penggantinya.

Pada tahun 1017 M hingga 1030 M, Al-Biruni mendapat kesempatan untuk melancong ke India. Selama 13 tahun, sang ilmuwan Muslim itu mengkaji tentang seluk beluk India hingga melahirkan apa yang disebut indologi atau studi tentang India. Di negeri Hindustan itu, Al-Biruni mengumpulkan beragam bahan bagi penelitian monumental yang dilakukannya. Dia mengorek dan menghimpun sejarah, kebiasaan, keyakian atau kepecayaan yang dianut masyarakat di sub-benua India.

Selama hidupnya, dia juga menghasilkan karya besar dalam bidang astronomi lewat Masudic Canon yang didedikasikan kepada putera Mahmud bernama Ma'sud. Atas karyanya itu, Ma'sud menghadiahkan seekor gajah yang bermuatan penuh dengan perak. Namun, Al-Biruni mengembalikan hadiah yang diterimanya itu ke kas negara.

Sebagai bentuk penghargaan, Ma'sud juga menjamin Al-Biruni dengan uang pensiun yang bisa membuatnya tenang beristirahat serta terus mengembangkan ilmu pengetahuan. Dia juga berhasil menulis buku astrologi berjudul The Elements of Astrology. Selain itu, sang ilmuwan itu pun menulis sederet karya dalam bidang kedokteran, geografi, serta fisika. Al-Biruni wafat di usia 75 tahun tepatnya pada 13 Desember 1048 M di kota Ghazna. Untuk tetap mengenang jasanya, para astronom mengabadikan nama Al-Biruni di kawah bulan.

Sumbangan Sang Ilmuwan

* Astronomi

''Dia telah menulis risalah tentang astrolabe serta memformulasi tabel astronomi untuk Sultan Ma'sud,''papar Will Durant tentang kontribusi Al-Biruni dalam bidang astronomi. Selain itu, Al-Biruni juga telah berjasa menuliskan risalah tentang planisphere dan armillary sphere. Al-Biruni juga menegaskan bahwa bumi itu itu berbentuk bulat.
Al-Biruni tercatat sebagai astronom yang melakukan percobaan yang berhubungan dengan penomena astronomi. Dia menduga bahwa Galaksi Milky Way (Bima Sakti) sebagai kupulan sejumlah bintang. Pada 1031 M, dia merampungkan ensiklopedia astronomi yang sangat panjang berjudul Kitab Al-Qanun Al Mas'udi.

* Astrologi
Dia merupakan ilmuwan yang pertama kali membedakan istilah astronomi dengan astrologi. Hal itu dilakukannya pada abad ke-11 M. Dia juga menghasilkan beberapa karya yang penting dalam bidang astrologi.

*Ilmu Bumi
Al-Biruni juga menghasilkan sejumlah sumbangan bagi pengembangan Ilmu Bumi. Atas perannya itulah dia dinobatkan sebagai 'Bapak Geodesi'. Dia juga memberi kontribusi signifikan dalam kartografi, geografi, geologi, serta mineralogi.

*Kartografi
Kartografi adalah ilmu tentang membuat peta atau globe. Pada usia 22 tahun, Al-Biruni telah menulis karya penting dalam kartografi, yakni sebuah studi tentang proyeksi pembuatan peta.

* Geodesi dan Geografi
Pada usia 17 tahun, Al-Biruni sudah mampu menghitung garis lintang Kath Khawarzmi dengan menggunakan ketinggian matahari. ''Kontribusi penting dalam geodesi dan geografi telah dibuat disumbangkan Al-Biruni. Dia telah memperkenalkan teknik mengukur bumi dan jaraknya menggunakan triangulasi,'' papar John J O'Connor dan Edmund F Robertson dalam MacTutor History of Mathematics.

* Geologi
Al-Biruni juga telah menghasilkan karya dalam bidang geologi. Salah satunya, dia menulis tentang geologi India.

* Mineralogi
Dalam kitabnya berjudul Kitab al-Jawahir atau Book of Precious Stones, Al-Biruni menjelaskan beragam mineral. Dia mengklasifikasi setiap mineral berdasarkan warna, bau, kekerasan, kepadatan, serta beratnya.

* Metode Sains
Al-Biruni juga berperan dalam memperkenalkan metode saintifik dalam setiap bidang yang dipelajarinya. Salah satu contohnya, dalam Kitab al-Jamahir dia tergolong ilmuwan yang sangat eksperimental.

* Optik
Dalam bidang optik, Al-Biruni termasuk ilmuwan yang pertama bersama Ibnu Al-Haitham yang mengkaji dan mempelajari ilmu optik. Dialah yang pertama menemukan bahwa kecepatan cahaya lebih cepat dari kecepatan suara.

* Antropologi
Dalam ilmu sosial, Biruni didapuk sebagai antropolog pertama di dunia. Ia menulis secara detail studi komparatif terkait antropologi manusia, agama, dan budaya di Timur Tengah, Mediterania, serta Asia Selatan. Dia dipuji sejumlah ilmuwan karena telah mengembangkan antropologi Islam. Dia juga mengembangkan metodelogi yang canggih dalam studi antropologi.

* Psikologi Eksperimental
Al Biruni tercatat sebagai pelopor psikologi eksperimental lewat penemuan konsep reaksi waktu.

* Sejarah
Pada usia 27 tahun, dia menulis buku sejarah yang diberi judul Chronology. Sayangnya buku itu kini telah hilang. Dalam kitab yang ditulisnya Kitab fi Tahqiq ma li'l-Hind atau Penelitian tentang India, Al-Biruni telah membedakan antara menode saintifik dengan metode historis.

* Indologi
Dia adalah ilmuwan pertama yang mengkaji secara khusus tentang India hingga melahirkan indologi atau studi tentang India.

*Matematika
Dia memberikan sumbangan yang signifikan bagi pengembangan matematika, khususnya dalam bidang teori dan praktik aritmatika, bilangan irasional, teori rasio, geometri dan lainnya.
( heri ruslan )



Read more!-Read more
<$BlogDateHeaderDate$>
Jejak Kejayaan Islam di Sicila
Sumber Republika Rabu, 04 Juni 2008

''Kota dengan 300 masjid.'' Begitulah penjelajah Arab terkemuka, Ibnu Hawqal menggambarkan suasana Palermo, ibu kota Sicilia yang berada di wilayah Italia selatan pada tahun 972 M. Dalam catatan perjalanannya, Al-Masalik wal Mamlik, Ibnu Hawqal mengaku tak pernah menemukan sebuah kota dengan jumlah masjid sebanyak itu, sekalipun luasnya dua kali lebih besar dari Palermo.

Pada saat yang sama, pelancong Muslim kondang itu juga menyaksikan kehebatan University of Balerm - sebuah perguruan tinggi Islam terkemuka di kota Palermo, Sicilia. Hampir selama tiga abad lamanya, umat Muslim di era keemasan berhasil mengibarkan bendera kejayaan dengan peradabannya yang terbilang sangat tinggi di wilayah otonomi Sicilia.

Dari wilayah itulah, ilmu pengetahuan yang dikuasai umat Islam ditransfer ke peradaban Barat. Pengaruh Islam begitu besar dalam peradaban masyarakat Sicilia. Selama tiga abad berada dalam kekuasaan Islam, kawasan Sicilia pun berkembang menjadi pusat peradaban dan perniagaan. Sicilia pun sempat menjadi salah satu wilayah primadona di benua Eropa. Islam bersemi di Sicilia sejak 15 Juli 827 M. Ketika itu, pasukan tentara Dinasti Aghlabid di bawah kekuasaan Ziyadat Allah I berhasil menaklukan dari kekuasaan Bizantium. Dinasti Aghlabid merupakan sebuah kekhalifahan Muslim Arab yang menguasai Ifriqiyah meliputi Aljazair, Tunisia dan Tripoli.

Dinasti yang berkuasa dari tahun 800 M hingga 909 M itu berpusat di Tunisia. Diperkuat 10 ribu pasukan infanteri, 700 pasukan berkuda serta 100 armada kapal, pasukan Muslim di bawah komando Asad Ibnu Al-Furat (70 tahun) berhasil mengkandaskan kekuatan Bizantium dalam pertempuran di dekat Mazara. Serangkaian pertempuran demi pertempuran dilalui pasukan Dinasti Aghlabid hingga akhirnya satu per satu kota di Sicilia sepenuhnya berhasil dikuasai umat Islam.

Secara resmi, kota Palermo ditaklukan umat Islam pada tahun 831 M. Sedangkan, Messina dikuasai pasukan Muslim 12 tahun berikutnya. Sejak wilayah Enna berhasil direbut dari Bizantium pada 859 M, provinsi Sicilia sepenuhnya berada dalam genggaman umat Islam. Di bawah kekuasaan umat Islam, Sicilia menjadi provinsi yang multietnis.

Beragam suku dan etnis, seperti orang Sicilia, Arab, Yahudi, Barbar, Persia, Tartar, Negro berbaur dalam toleransi dan keharmonisan. Tak ada pembantaian terhadap penduduk yang beragama Nasrani. Penduduk Sicilia yang beragama Nasrani dilindungi dan dihormati kebebasannya dalam menjalankan aktivitas peribadatan.

Penguasa Muslim hanya membebankan pajak kepada penganut agama Nasrani. Hak milik dan usaha mereka dilindungi penguasa Muslim. Pun demikian terhadap warga Yahudi yang berada di kawasan kota pantai. Penguasa Muslim menghormati hak hidup dan melindungi kebebasan umat beragama lain dalam menjalankan ibadah.

Sejak berada dalam kekuasaan Islam, Sicilia menjelma menjadi salah satu pusat peradaban di Eropa, setelah Kordova. Bangunan masjid yang tersebar di seluruh kawasan Sicilia tak hanya menjadi tempat beribadah semata. Masjid-masjid itu juga berfungsi sebagai sekolah -- tempat bersemainya benih peradaban dan ilmu pengetahuan.

Di bawah kekuasaan Islam, Sicilia memiliki universitas Islam terkemuka. Sekolah-sekolah di wilayah itu dilengkapi dengan asrama siswa dan mahasiswa. Tak heran, bila begitu banyak remaja dan anak muda dari berbagai penjuru Eropa menimba ilmu di sekolah dan universitas Islam di Sicilia.

Penjelajah Muslim, Ibnu Jubair, memberi sebuah kesaksian tentang kemajuan yang berhasil dicapai penguasa Muslim di Sicilia. Dalam buku perjalanannya, Ibnu Jubair, melukiskan kemajuan pesat yang dicapai Palermo, ibu kota Sicilia. ''Palermo adalah sebuah kepulauan metropolis yang mengkombinasikan kekayaan dan kemuliaan. Sebuah kota kuno yang elegan,'' papar Ibnu Jubair.

Bahasa Arab pun menjadi bahasa pengantar masyarakat Sicilia. Ibnu Jubair menyaksikan wanita dan pria Kristen pun sehari-hari berbicara dengan bahasa Arab. Kehadiran Islam di Sicilia seakan menjadi berkah bagi masyarakatnya. Perekonomian Sicilia menggeliat setelah berada dalam kekuasaan umat Islam. Industri tekstil tumbuh pesat di era kejayaan Islam di salah satu wilayah otonomi negeri Spagheti itu.

Industri kerajinan pun tumbuh dan berkembang pada saat itu. Kehadiran Islam di tanah Sicilia juga memberi pengaruh yang besar terhadap bidang pertanian. Para petani dan sarjana Muslim memperkenalkan teknik-teknik baru pertanian serta benih tanaman yang unggul. Akibatnya, roda perekonomian ekonomi lokal bergerak begitu cepat.

Buah jeruk merupakan komoditas agrobisnis terkemuka yang dihasilkan para petani Sicilia. Penguasa Islam juga memperkenalkan dan mengembangkan saluran irigasi di wilayah itu. Teknologi pertanian yang diwariskan umat Islam itu tetap digunakan masyarakat Sicilia, sekalipun umat Islam tak lagi berkuasa di wilayah itu.

Periode kekuasaan Islam di Sicila merupakan tahap awal revolusi perdagangan di abad pertengahan. Pada era itulah masyarakat Sicila merasakan kemakmuran dalam pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat. Akhir abad ke-10 M, sejarawan bernama Udovitch menjelaskan betapa Sicilia telah menjelma menjadi pusat perdagangan di dunia Mediterania. Kawasan itu bersama Tunisia menjadi persimpangan rute perdagangan.

Kafilah dari Sijlimasa, selatan Maroko membawa beragam komoditas dari Afrika dan Maroko untuk dijual ke palermo dan Mazara. Sicilia menjadi jembatan perdagangan antara Muslim di Timur dengan Muslim di Barat. Akhir abad ke-10, Sicila menjadi produsen utama kain sutera. Pada era itu, Sicila sudah mulai menggunakan koin emas atau ruba'ya yang benilai seperempat dinar. Mata uang itu sungguh bernilai di kota-kota perdagangan lain seperti Mesir, Suriah dan Palestina.

Sayangnya, kekuasaan umat Islam di Sicilia harus berakhir pada tahun 1061 M. Kekuatan umat Islam yang lemah dimanfaatkan bangsa Normandia. Sejak itu, dominasi Islam pun lenyap dari bumi Sicila. Meski begitu pengaruh dan peradaban yang diwariskannya masih tetap dapat disaksikan hingga sekarang.

Para Penguasa Muslim di Sicilia

Dinasti Aghlabid (827 M - 909 M)
Selama 82 tahun, Sicila berada dalam kekuasaan Dinasti Aghlabid yang berpusat di Tunisia. Ketika dikuasai dinasti Muslim itu, populasi penduduk Sicilia bertambah seiring datangnya imigran Muslim dari Afrika, Asia, Spanyol dan barbar. Semua penduduk Muslim itu terpusat di kepulauan selatan.
Dinasti Aqhlabi menempatkan seorang amir sebagai pejabat gubernur di ibu kota Sicilia, Palermo. Di setiap kota di Sicila dilengkapi dengan sebuah dewan kota bernama gema. Ketika Islam berkuasa banyak penduduk Sicilia yang menganut agama Islam, sebagian lainnya tetap memuk agama Kristen. Pada era dinasti itu, mulai diperkenalkan land reform atau reformasi agraria. Hal itu dilakukan agar tanah tak cuma dikuasai orang-orang kaya saja. Irigiasi juga mulai diperkenalkan, sehingga sektor pertanian berkembang pesat. Pada abad ke-10 M, Sicila menjadi provinsi di Italia yang paling padat dengan jumlah penduduk mencapai 300 ribu jiwa.

* Dinasti Fatimiyah (909 M - 965 M)
Pada tahun 909 M, kekuasaan Dinasti Aghlabid dari Afrika di Sicilia diambil alih Dinasti Fatimiyah. Wilayah itu awalnya menjadi bagian dari provinsi Fatimiyah yang berpusat di Mesir. Empat tahun berkuasa, gubernur Fatimiyah diusir dari Palermo. Kepulauan itu lalu mendeklarasikan kemerdekaannya di bawah kepemimpinan seorang Emir bernama Ahmed ibnu Kohrob. Sicilia kembali dikuasai Dinasti Fatimiyah pada 917 M. Selama 20 tahun lamanya, Sicilia dipimpin seorang gubernur dari Fatimiyah. Pada 937 M, bangsa barbar mengambil alih Sicilia.

Emirat Sicilia (965 M - 1091 M)
Sejak tahun 948 M, Khalifah Fatimiyah, Ismail Al-Mansur mengangkat Hassan Al-Kalbi sebagai emir Sicilia. Secara defakto, Emirat Sicilia terlepas dari pemerintahan Faimiyah di Mesir. Lalu dia digantikan Emir yang baru bernama Abu Al-Qasim (964 M - 982 M). pada masa kedua emir itu berkuasa, Sicilia Muslim bertempur dengan Bizantium. Setelah itu, kekuasaan Islam meredup seiring perebutan kekuasaan di tubuh umat Islam. Pada 1061 M, Sicilia lepas dari tangan umat Islam.

Pintu Gerbang Ilmu Islam ke Barat

Sebagai bekas wilayah kekuasaan Islam, Sicilia merupakan berkah bagi peradaban Barat. Wilayah otonomi di selatan Italia itu telah menjadi gerbang transfer ilmu pengetahuan dari dunia Muslim ke Barat. Michelle Amari merupakan sejarawan yang telah membuktikan bahwa dari Sicilia-lah ilmu pengetahuan yang dikuasai umat Islam di era keemasan ditransfer ke Barat.

Transfer ilmu pengetahuan Islam ke dunia Barat mulai dilakukan oleh Frederick II (1194 M - 1250 M) - penguasa Sicilia. Frederick masih menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar di kerajaan yang dipimpinnya. Ia mengumpulkan sarjana Muslim dan Yahudi untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab. Bahkan, dia mengirim Michael Scot ke Cordoba untuk mencari kitab-kitab yang ditulis Ibnu Sina.

Frederick adalah raja beragama Kristen. Namun, dia begitu terpengaruh oleh ajaran dan kebudayaan Islam. Sehingga, Bapak Sejarawan Sains, George Sarton mengatakan, ''Frederik itu setengah Muslim dengan caranya sendiri.'' Ketika dia berkuasa, University of Naples pada tahun 1224 M - universitas pertama di Eropa menggunakan sistem pendidikan yang dikembangkan pergurun tinggi Islam. Dari Sicilia pula sistem fiskal yang sempat diterapkan penguasa Islam ditransfer ke Inggris.
( heri ruslan )



Read more!-Read more
Sastra dalam Peradaban Islam
Sumber Republika Kamis, 29 Mei 2008

Sastra dalam bahasa Inggris dikenal sebagai literature. Menurut Oxford English Dictionary, sastra berasal dari kata ‘littera’ yang artinya tulisan yang bersifat pribadi. Sedangkan dalam bahasa Arab, sastra disebut adab yang berasal dari sebuah kata yang berarti ‘mengajak seseorang untuk makan’ dan menyiratkan kesopanan, budaya, dan pengayaan.

Sastra menempati posisi yang terbilang penting dalam sejarah peradaban Islam. Sejarah sastra Islam dan sastra Islami tak lepas dari perkembangan sastra Arab. Sebab, bahasa Arab merupakan bahasa suci Islam dan Alquran. Bahasa Arab dalam bentuk klasiknya atau bentuk Qurani mampu memenuhi kebutuhan religius, sastra, artistik dan bentuk formal lainnya. Sastra Arab atau Al- Adab Al-Arabi tampil dalam beragam bentuk prosa, fiksi, drama, dan puisi.

Lalu bagaimanakah dunia sastra berkembang dalam peradaban masyarakat Islam? Sejatinya sastra Arab mulai berkembang sejak abad ke-6 M, yakni ketika masyarakat Arab masih berada dalam peradaban jahiliyah. Namun, karya sastra tertulis yang tumbuh era itu jumlahnya masih tak terlalu banyak. Paling tidak, ada dua karya sastra penting yang terkemuka yang ditulis sastrawan Arab di era pra-Islam. Keduanya adalah Mu’allaqat dan Mufaddaliyat.

Orang pertama yang mengenalkan dunia Barat dengan sastra Arab jahili adalah William Jones (1746 M -1794 M), dengan bukunya Poaseos Asiaticae Commen tarii Libri Sex atau penjelasan Mu’allaqaat As-Sab’a yang diterbitkan tahun 1774 M. Sastra Arab jahili memiliki ciri-ciri yang umumnya yang menggambarkan suatu kebanggaan terhadap diri sendiri (suku), keturunan, dan cara hidup.

Sastra Arab memasuki babak baru sejak agama Islam diturunkan di Jazirah Arab yang ajarannya disampaikan melalui Alquran. Kitab suci umat Islam itu telah memberi pengaruh yang amat besar dan signifikan terhadap bahasa Arab. Bahkan, Alquran tak hanya memberi pengaruh terhadap sastra Arab, namun juga terhadap kebudayaan secara keseluruhan.

Bahasa yang digunakan dalam Alquran disebut bahasa Arab klasik. Hingga kini, bahasa Arab klasik masih sangat dikagumi dan dihormati. Alquran merupakan firman Allah SWT yang sangat luar biasa. Terdiri dari 114 surat dan 6666 ayat, Alquran berisi tentang perintah, larangan, kisah, dan cerita perumpamaan itu begitu memberi pengaruh yang besar bagi perkembangan sastra Arab.

Sebagian orang menyebut Alquran sebagai karya sastra terbesar. Namun, sebagian kalangan tak mendudukan Alquran sebagai karya sastra, karena merupakan firman Allah SWT yang tak bisa disamakan dengan karya manusia. Teks penting lainnya dalam agama Islam adalah hadits atau sunnah.

Penelitian serta penelusuran terhadap masa-masa kehidupan Nabi Muhammad SAW telah memicu para sarjana Muslim untuk mempelajari bahasa Arab. Atas dasar pertimbangan itu pula, para intelektual Muslim mengumpulkan kembali puisi-puisi pra-Islam. Hal itu dilakukan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya kehidupan Rasulullah sampai akhirnya menerima wahyu dan menjadi Rasul.

Jejak dan perjalanan hidup Muhammad SAW yang begitu memukau juga telah mendorong para penulis Muslim untuk mengabadikannya dalam sebuah biografi yang dikenal sebagai Al-Sirah Al-Nabawiyyah. Sarjana Muslim yang pertama kali menulis sejarah hidup Nabi Muhammad adalah Wahab bin Munabbih. Namun, Al-Sirah Al-Nabawiyyah yang paling populer ditulis oleh Muhammad bin Ishaq.

Studi bahasa Arab pertama kali sebenarnya telah dilakukan sejak era Kekhalifahan Ali RA. Hal itu dilakukan setelah khalifah melakukan kesalahan saat membaca Alquran. Dia lalu meminta Abu Al-Aswad Al- Du’ali untuk menyusun tata bahasa (gramar) bahasa Arab. Khalil bin Ahmad lalu menulis Kitab al- Ayn - kamus pertama bahasa Arab. Sibawaih merupakan sarjana Muslim yang menulis tata bahasa Arab yang sangat populer yang berjudul al-Kitab.

Sejarah mencatat, sastra sangat berkembang pesat di era keemasan Islam. Di masa kekhalifahan Islam berjaya, sastra mendapat perhatian yang amat besar dari para penguasa Muslim. Tak heran, bila di zaman itu muncul sastrawan Islam yang terkemuka dan berpengaruh. Di era kekuasaan Dinasti Umayyah (661 M - 750 M), gaya hidup orang Arab yang berpindah-pindah mulai berubah menjadi budaya hidup menetap dan bergaya kota.

Pada era itu, masyarakat Muslim sudah gemar membacakan puisi dengan diiringi musik. Pada zaman itu, puisi masih sederhana. Puisi Arab yang kompleks dan panjang disederhanakan menjadi lebih pendek dan dapat disesuaikan dengan musik. Sehingga puisi dan musik pada masa itu seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.

Sastra makin berkilau dan tumbuh menjadi primadona di era kekuasaan Daulah Abbasiyah - yang berkuasa di Baghdad pada abad ke-8 M. Masa keemasan kebudayaan Islam serta perniagaan terjadi pada saat Khalifah Harun Ar-Rasyid dan puteranya Al-Ma’mun berkuasa. Pada era itu, prosa Arab mulai menempati tempat yang terhormat dan berdampingan dengan puisi. Puisi sekuler dan puisi keagamaan juga tumbuh beriringan.

Para sastrawan di era kejayaan Abbasiyah tak hanya menyumbangkan kontribusi penting bagi perkembangan sastra di zamannya saja. Namun juga turut mempengaruhi perkembangan sastra di Eropa era Renaisans. Salah seorang ahli sastrawan yang melahirkan prosaprosa jenius pada masa itu bernama Abu ‘Uthman ‘Umar bin Bahr al- Jahiz (776 M - 869 M) - cucu seorang budak berkulit hitam.

Berkat prosa-prosanya yang gemilang, sastrawan yang mendapatkan pendidikan yang memadai di Basra. Irak itu pun menjadi intelektual terkemuka di zamannya. Karya terkemuka Al-Jahiz adalah Kitab al-Hayawan, atau ‘Buku tentang Binatang’ sebuah antologi anekdot-anekdot binatang - yang menyajikan kisah fiksi dan non-fiksi. Selain itu, karya lainnya yang sangat populer adalah Kitab al-Bukhala, ‘Book of Misers’, sebuah studi yang jenaka namun mencerahkan tentang psikologi manusia.

Pada pertengahan abad ke-10 M, sebuah genre sastra di dunia Arab kembali muncul. Genre sastra baru itu bernama maqamat Sebuah anekdot yang menghibur yang diceritakan oleh seorang pengembara yang menjalani hidupnya dengan kecerdasan. Maqamat ditemukan oleh Badi’ al- Zaman al-Hamadhani (wafat tahun 1008 M). Dari empat ratus maqamat yang diciptakannya, kini yang masih tersisa dan bertahan hanya 42 maqamat. heri ruslan
( )




Read more!-Read more
Beragam Bentuk Kesusasteraan Khas Arab
Sumber Republika Kamis, 29 Mei 2008

Puisi
Sebagian besar kesusasteraan Arab sebelum abad ke-20 M didominasi oleh puisi. Bahkan bentuk prosa pun pada periode itu kerap diwarnai dengan puisi atau prosa bersajak. Tema puisi Arab berkisar antara sanjungan dan puji-pujian terhadap seseorang sampai ‘menyerang’ orang lain. Selain itu, tema yang kerap kali ditampilkan dalam puisi Arab tentang keagamaan dan mistik hingga puisi yang mengupas tentang seks dan anggur.

Sasta non-fiksi
Di akhir abad ke-9 M, Ibnu Al-Nadim - seorang penjual buku terkemuka di Baghdad - mengoleksi hasil studi sastra Arab. Koleksi karya sastra Arab yang berkembang saat itu dituliskannya dalam sebuah katalog yang berjudul Kitab Al-Fihrist. Salah satu bentuk sastra non-fiksi yang berkembang di era kekhalifahan Abbasiyah berbentuk kompilasi.

Kompilasi itu memuat rangkuman fakta, gagasan, kisah-kisah seperti pelajaran, syair dengan topik tertentu. Selain itu bisa pula merangkum tentang rumah, taman, wanita, orangorang tuna netra, binatang hingga orang kikir. Tiga kompilasi yang termasyhur ditulis oleh Al-Jahiz. Koleksi yang ditulis Al-Jahiz itu terbilang sangat penting bagi siapa saja, mulai dari orang rendahan hingga pengusaha atau orang terhormat.

Biografi dan geografi
Selain menulis biografi Nabi Muhammad SAW, karya sastra Arab lainnya yang berhubungan dengan biografi ditulis oleh Al-Balahudri lewat Kitab Ansab Al-Ashraf atau Buku Geneologi Orang-Orang Terhormat. Selain itu, karya kesusateraan Arab lainnya dalam bentuk biografi ditulis oleh Ibnu Khallikan dalam bentuk kamus biografi. Lalu disempurnakan lagi oleh Al-Safadi lewat Kitab Al-I’tibar yang mengisahkan Usamah bin Munqidh dan pengalamannya saat bertempur dalam Perang Salib.

Karya sastra lainnya yang berkembang di dunia Arab adalah buku tentang perjalanan. Ibnu Khurdadhbih merupakan orang pertama yang menulis buku perjalanannya sebagai seorang pegawai pos di era kekhalifahan. Buku perjalanan lainnya juga ditulis oleh tokoh-tokoh terkemuka lainnya seperti Ibnu Hawqal, Ibnu Fadlan, Al-Istakhri, Al-Muqaddasi, Al-Idrisi dan yang paling terkenal adalah buku perjalanan Ibnu Batutta yang berjudul Ar-Rihla.

Buku harian
Catatan harian Arab pertama kali ditulis sebelum abad ke-10 M. Penulis diari yang paling terkemuka adalah Ibnu Banna di abad ke-11 M. Buku harian yang ditulisnya itu disusun sangat mirip dengan catatan harian modern.

Sastra fiksi
Di dunia Arab, terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara al-fusha (bahasa berkualitas) dengan al-ammiyah (bahasa orang biasa). Tak banyak penulis yang menuliskan ceritanya dalam al-ammiyah atau bahasa biasa. Hal itu bertujuan agar karya sastra bisa lebih mendidik ketimbang menghibur.

Kesusasteraan epik
Karya sastra fiksi yang paling populer di dunia Arab adalah kisah Seribu Satu Malam. Inilah salah satu karya fiksi yang paling besar pengaruhnya tehadap budaya Arab maupun non- Arab. Meski begitu, kisah yang sangat populer itu biasa ditempatkan dalam genre sastra epik Arab.

Maqamat
Maqamat merupakan salah satu genre sastra Arab yang muncul pada pertengahan abad ke-10 M. Maqama merupakan sebuah anekdot yang menghibur yang diceritakan oleh seorang pengembara yang menjalani hidupnya dengan kecerdasan. Maqamat ditemukan oleh Badi’ al-Zaman al- Hamadhani (wafat tahun 1008 M). Dari empat ratus maqamat yang diciptakannya, kini yang masih tersisa dan bertahan hanya 42 maqamat. Sastrawan lainnya yang mengelaborasi genre maqamat adalah Al-Hariri (wafat tahun 1122 M). Dengan menggunakan format yang sama, Al-Hariri menciptakan gaya maqamatnya sendiri.

Syair romantis
Salah satu syair romantis yang paling terkenal dari dunia kesusasteraan Arab adalah Layla dan Majnun. Puisi romantis ini membawa kenangan di era Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-7 M. Kisah yang diceritakan dalam syair itu, konon telah menginspirasi lahirnya kisah percintaan yang tragis yakni Romeo dan Juliet. hri
( )




Read more!-Read more
Ibnu Al- Nafis
Sumber Republika Senin, 02 Juni 2008

Dunia kedokteran modern mendapuknya sebagai ahli fisiologi terhebat di era keemasan Islam pada abad ke-13 M. Dialah dokter pertama di muka bumi yang mampu merumuskan dasar-dasar sirkulasi lewat temuannya tentang sirkulasi dalam paru-paru, sirkulasi jantung, dan kapiler. Sebuah pencapaian yang prestisius dan luar biasa itu ditorehkan seorang dokter Muslim bernama Ibnu Al-Nafis.

Berkat jasanya yang sangat bernilai itulah, Ibnu Al-Nafis dianugerahi gelar sebagai ‘Bapak Fisiologi Sirkulasi’. Prestasi dan pencapaian gemilang yang ditorehkannya pada abad ke-13 M itu telah mematahkan klaim Barat yang selama beberapa abad menyatakan bahwa Sir William Harvey dari Kent, Inggris yang hidup di abad ke-16 M, sebagai pencetus teori sirkulasi paru-paru.

Jejak prestasi yang ditorehkan Al-Nafsi dalam bidang kedokteran khususnya ilmu fisologi pada era kejayaan Islam itu baru terungkap pada abad ke-20. Dunia kedokteran pun dibuat terperangah dan takjub oleh pencapaian dokter Muslim itu. Adalah fisikawan berkebangsaan Mesir, Muhyo Al- Deen Altawi yang berhasil menguak kiprah Al-Nafsi lewat risalah berjudul Commentary on the Anatomy of Canon of Avicenna yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Prussia, Berlin, Jerman.

Kontribusi Al-Nafis dalam dunia kedokteran tak hanya di bidang fisiologi. Ia juga dikenal sebagai dokter yang menyokong kedokteran ekperimental, postmortem otopsi, serta bedah manusia. Sejarah juga mencatat Al-Nafis sebagai dokter pertama yang menjelaskan konsep metabolisme. Tak heran bila dia lalu mengembangkan aliran kedokteran Nafsian tentang sistem anatomi, fisiologi, psikologi, dan pulsologi.

Aliran Nafsian yang diciptakannya itu bertujuan untuk menggantikan doktrindoktrin kedokteran yang dicetuskan pendahulunya yakni Ibnu Sina alias Avicena dan Galen - seorang dokter Yunani. Al- Nafis menilai banyak teori yang dikemukakan kedua dokter termasyhur itu keliru. Antara lain tentang denyut, tulang, otot, panca indera, perut, terusan empedu, dan anatomi tubuh lainnya.

Guna meluruskan teori dan doktrin kedok teran yang dianggapnya keliru itu, Al- Nafsi lalu menggambar diagram yang melukiskan bagian-bagian tubuh yang berbeda dalam sistem fisiologi (kefaalan) yang dikembangkannya. Karya Al-Nafis dalam bidang kedokteran dituliskannya dalam kitab Sharh al-Adwiya al-Murakkaba, komentar Al-Nafis terhadap kitab karya Ibnu Sina yang berjudul Canon of Medicine. Ia juga menulis kitab Com mentary on Anatomy in Avicenna’s Canon pada tahun 1242 M.

Selain memberi kontribusi yang begitu besar dalam bidang kedokteran, Al-Nafis yang juga dikenal sebagai ilmuwan serbabisa itu turut berjasa mengembangkan ilmu keislaman. Al-Nafis berhasil menulis sebuah metodelogi hadits yang memperkenalkan sebuh klasifikasi ilmu hadits yang lebih rasional dan logis. Al-Nafis pun dikenal sebagai seorang sastrawan. Ia menulis Theologus Autodidactu salah satu novel filosofis pertama dalam khazanah karya sastra Arab pertama.

Lalu bagaimana sebenarnya jejak hidup sang dokter kondang itu? Sejatinya, Al- Nafis memiliki nama lengkap Ala al-Din Abu al-Hassan Ali ibn Abi-Hazm Al-Qarshi Al-Dimashqi. Selain dikenal sebagai dokter, Al-Nafis juga merupakan pakar anatomi, fisiologi, bedah, ophtamologi, penghafal Alquran, ahli hadits, ahli hukum, novelis, sosiolog, sastrawan, astronomi, ahli bahasa, dan sejawaran.

Al-Nafis terlahir pada tahun 1213 M di Damaskus, Suriah. Ia menempuh pendidikan kedokteran di Rumah Sakit Al- Nuri Damaskus. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan, karena semasa remaja dan muda menimba banyak ilmu. Ketika berusia 23 tahun, Al-Nafis memutuskan hijrah ke Kairo, Mesir. Ia memulai karirnya sebagai seorang dokter di Rumah Sakit Al-Nassri dan Rumah sakit Al- Man souri. Di rumah sakit itulah, dia men jadi dokter kepala.

Setelah enam tahun mengabdikan diri dua rumah sakit di kota Kairo itu, pada 1242 M, Al-Nafis mempublikasikan karyanya yang berjudul The Commentary on Anatomy in Avicenna’s Canon. Dalam kitab itulah, ia berhasil mengungkapkan penemuannya dalam anatomi manusia. Pe ne muannya yang paling penting adalah mengenai sirkulasi paru-paru dan jantung.

Menginjak usia 31 tahun, Al-Nafis kembali menyelesaikan karyanya yang lain yang berjudul The Comprehensive Book on Medicine. Kitab itu sudah dipublikasikan dalam 43 volume pada tahun 1243 M - 1444 M. Selama lebih dari satu dasawarsa berikutnya, Al-Nafis berhasil menyelesaikan karyanya di bidang kedokteran hampir 300 volume. Namun, dia hanya mempublikasikan 80 volume.

Sejarah mencatat The Comprehensive Book on Medicine merupakan ensiklopedia kedokteran terbesar di zamannya. Pencapaian luar biasa yang ditorehkan Al-Nafis ketika itu dihasilkan dalam situasi politik yang tak menentu. Pasalnya, ketika itu umat Islam di Mesir tengah menghadapi ancaman Perang Salib dan invasi bangsa Mongol.

Setelah Hulagu Khan bersama pasukan bar-barnya meluluh-lantakan kota metropolis intelektual dunia, Baghdad pada tahun 1258, setahun kemudian tentara Mongol men caplok Suriah. Untunglah, keberingasan Mongol tak sampai ke Mesir. Pada tahun 1960, kekusaan Mongol dari Suriah berhasil diusir Sultan Mesir, Baibars, setelah memenangkan pertempuaran Ain Jalut. Sejak tahun 1260 M hingga tahun 1277 M, Ibnu Nafis mengabdikan diri menjadi dokter pribadi Sultan Baibars.

Sebagai seorang penghafal Alquran dan ahli hadits, Al-Nafis memiliki latar belakang keagamaan yang begitu kuat. Ia ternya ta seorang Muslim Sunni ortodoks. Alnafis merupakan seorang sarjana di Sekolah Fikih Syafi’i. Dalam bidang filasafat, dokter serba bisa itu juga menulis beberapa karyanya. Selain mengabdikan diri sebagai dokter, Al-Nafis pun mengajarkan Alquran dan Hadists.

Sang ilmuwan besar itu tutup usia pada 17 Desember 1288 atau 11 Dzulqaidah 687 H. Di akhir hayatnya, Al-Nafis menyumbangkan rumah, perpustakaan dan klinik yang dimilikinya kepada Rumah Sakit Masuriyah agar digunakan bagi kepentingan masyarakat.

Al-Nafis tentang Sirkulasi Paru-paru dan Jantung

Inilah pencapaian yang berhasil dicapai Ibnu Al-Nafis dalam bidang fisiologi yang mengguncangkan itu. Pada abad ke-13 M, dia telah mengungkapkan penemuan pentingnya. Dalam kitab yang ditulisnya, Al-Nafis berujar, ‘’Da rah dari kamar ka nan jantung harus me nuju bagian kiri jantung, namun tak ada bagian apapun yang menjem batani kedua bilik itu. Sekat tipis pada jantung tidak berlubang.

Al-Nafis pun menambahkan, ‘’Dan bukan seperti apa yang dipikirkan Galen, tak ada poripori tersembunyi di dalam jantung. Darah dari bilik kanan harus melewati vena arteriosa (arteri paru-paru) menuju paru-paru, menyebar, berbaur dengan udara, lalu menuju arteria venosa (vena paru-paru) dan menuju bilik kiri jantung dan bentuk ini merupakan spirit vital.’‘

Selain itu, Al-Nafis secara tegas me nga takan, ‘’Jantung hanya memiliki dua kamar. Dan antara dua bagian itu sungguh tidak saling terbuka. Dan, pembedahan juga membuktikan kebohongan yang mereka ungkapkan. Sekat antara dua bilik jantung lebih tipis dari apapun. Keuntungan yang didapat dengan adanya sekat ini adalah, darah pada bilik kanan dengan mudah menuju paru-paru, bercampur dengan udara di dalam paru-paru, kemudian didorong menuju ar te ria venosa ke bilik kiri dari dua bilik jantung...”

Mengenai anatomi paruparu, Ibnu Al-Nafis menulis:’‘Paru-paru terdiri dari banyak bagian, pertama adalah bronkus, kedua adalah cabangcabang arteria venosa, dan ketiga adalah cabang-cabang vena arteriosa. Keti ganya terhubung oleh jaringan daging yang berongga.’‘

Pengakuan Dunia untuk Sang Dokter

George Sarton, bapak sejarah Sains mengakui bahwa penemuan sirkulasi paru-paru yang dicapai Ibnu Al-Nafis sangat penting artinya bagi dunia kedokteran. ‘’Jika kebenaran teori Ibnu Al-Nafis terbukti, maka dia harus diakui sebagai salah seorang dokter yang telah memberi pengaruh terhadap William Harvey. Ibnu Al-Nafis adalah seorang ahli fisiologi terhebat di abad pertengahan,’‘ ungkap Sarton tanpa tedeng aling-aling.

Pengakuan yang sama juga diungkapkan Max Meyrholf, seorang ahli sejarah yang meneliti jejak kedokteran di dunia Arab. Meyrholf pun berkata, ‘’Kita telah melihat bahwa Ibnu Al-Nafis telah mengungkapkan penampakan sa luran antara dua jenis pembuluh paru-paru.’‘ Penemuan yang mengguncang itu, papar dia, ditemukan tiga abad sebelum Realdo Colombo (wafat 1559 M) - dokter Barat — mencetuskannya.

Dalam William Osler Medal EssayEdward Coppola pun sepakat bahwa Ibnu Al-Nafs adalah penemu sirkulasi paru-paru. Dalam esai itu, Coppola berkata, ‘’Teori sirkulasi paru-paru yang telah ditemukan Ibnu Al-Nafis pada abad ke-13 M sungguh tak dapat terlupakan. Berabad-abad setelah kematiannya, hasil investigasi anatomi yang dilakukannya telah banyak memberi pengaruh terhadap Realdo Colombo dan Valverde.’‘

Malah, Encarta Encyclopedia 2003 secara tegas mematahkan klaim Barat yang selama berabad-abad mengklaim William Harvey se bagai pencetus teori sirkulasi paru-paru. Beri kut ini pernyataan Encarta Encyclope dia: ’‘Ib nu Al- Nafis begitu termasyhur lewat tulisan-tu lis annya tentang fisilogi dan kedokteran. Kitab yang di tulisnya, Sharh Tashrih Al-Qanunmam pu men jelaskan sirkulasi paru-paru be berapa abad sebelum dokter Inggris, William Harver menjelaskan sirkulasi darah pada tahun 1628 M.’‘

Sementara itu, Joseph Schacht, mengungkapkan bahwa teori-terori yang diungkapkan Ibnu Al-Nafis begitu berpengaruh terhadap dokter-dokter di Barat. Selain itu, dia juga memuji Al-Nafis yang mampu melontarkan kritik terhadap Ibnu Sina dan Galen. Al-Nafis mampu mendirikan aliran kedokteran Nafsian dengan membuat penambahan bagian-bagian anatomi manusia. ‘’Kemungkinan Colombo telah mendalami teori-teori Ibnu Al-Nafis,’‘ papar Schacht.

Ahli sejarah lainnya, Taj al-Din al-Subki (wafat 1370 M ) dan Ibnu Qadi Shuhba pun mengakui kehebatan Al-Nafsi. Menurut keduanya, tak pernah ada dokter di dunia ini yang seperti Al-Nafis. ‘’Sebagian orang mengatakan tak ada lagi dokter yang hebat setelah Ibnu Sina selain Ibnu Al-Nafis. Namun, sebagian menyatakan bahwa Al-Nafis lebih baik dari Ibnu Sina,’‘ papar keduanya. Begitulah dunia mengakui dedikasi dan keberhasilan sang dokter agung itu.
(heri ruslan )




Read more!-Read more
Psikologi Dalam Peradaban Islam
Sumber Republika Selasa, 03 Juni 2008

Psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu terbilang berusia muda. Ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental itu diklaim Barat baru muncul pada tahun 1879 M -- ketika Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium pertamanya di Leipzig. Padahal, jauh sebelum itu peradaban manusia dari zaman ke zaman telah menaruh perhatian pada masalah-masalah psikologi.

Peradaban manusia kuno di Mesir, Yunani, Cina, dan India telah memikirkan tentang ilmu yang mempelajari manusia dalam kurun waktu bersamaan. Kebudayaan kuno itu juga telah memikirkan tentang sifat pikiran, jiwa, ruh, dan sebagainya. Masyarakat Mesir Kuno dalam catatan yang tertulis pada papirus bertarik 1550 SM telah mencoba mendeskripsikan tentang otak dan beberapa spekulasi mengenai fungsinya.

Selain itu, filsuf Yunani Kuno, Thales, juga telah mengelaborasi apa yang disebut sebagai psuch atau jiwa. Pemikir lainnya dari peradaban Yunani Kuno seperti Plato, Pythagoras, dan Aristoteles juga turut mendedikasikan diri mereka untuk mempelajari dan mengembangkan dasar-dasar psikologi. Sejak abad ke-6 M, peradaban Cina telah mengembangkan tes kemampuan sebagai bagian dari sistem pendidikan.

Lalu bagaimana peradaban Islam berperan dalam mengembangkan psikologi? Sebenarnya. jauh sebelum Barat mendeklarasikan berdirinya disiplin ilmu psikologi di abad ke-19 M, di era keemasannya para psikolog dan dokter Muslim telah turut mengembangkan psikologi dengan membangun klinik yang kini dikenal sebagai rumah sakit psikiatris.

Di era kekhalifahan, psikologi berkembang beriringan dengan pesatnya pencapaian dalam ilmu kedokteran. Pada masa kejayaannya, para psikolog Muslim telah mengembangkan Psikologi Islam atau Ilm-Al Nafsiat. Psikologi yang berhubungan dengan studi nafs atau jiwa itu mengkaji dan mempelajari manusia melalui qalb (jantung), ruh, aql (intelektual), dan iradah (kehendak).

Kontribusi para psikolog Muslim dalam mengembangkan dan mengkaji psikologi begitu sangat bernilai. Sejarah mencatat, sarjana Muslim terkemuka, Al-Kindi, merupakan psikolog Muslim pertama yang mencoba menerapkan terapi musik. Psikolog Muslim lainnya, Ali ibn Sahl Rabban Al-Tabari, juga diakui dunia sebagai orang pertama yang menerapkan psikoterapi atau 'al-`ilaj al-nafs'.

Psikolog Muslim di era kejayaan, Ahmed ibnu Sahl Al-Balkhi, merupakan sarjana pertama yang memperkenalkan konsep kesehatan spiritual atau al-tibb al-ruhani dan ilmu kesehatan mental. Al-Balkhi diyakini sebagai psikolog medis dan kognitif pertama yang secara jelas membedakan antara neuroses dan psychoses untuk mengklasifikasi gangguan penyakit syaraf.

Melalui kajian yang dilakukannya, Al-Balkhi, juga mencoba untuk menunjukkan secara detail bagaimana terapi rasional dan spiritual kognitif dapat digunakan untuk memperlakukan setiap kategori penyakit. Pencapaian yang berhasil ditorehkan Al-Balkhi pada abad pertengahan itu terbilang begitu gemilang.

Sumbangan yang tak kalah pentingnya terhadap studi psikologi juga diberikan oleh Al-Razi. Rhazes - begitu orang Barat menyebut Al-Razi - telah menorehkan kemajuan yang begitu signifikan dalam psikiatri. Melalui kitab yang ditulisnya yakni El-Mansuri dan Al-Hawi, Al-Razi mengungkapkan definisi symptoms (gejala) dan perawatannya untuk menangani sakit mental dan masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan mental.

Al-Razi juga tercatat sebagai psikolog pertama yang membuka ruang psikiatri di sebuah rumah sakit di Kota Baghdad. Pada saat yang sama, Barat belum mengenal dan menerapkan hal serupa, sebab waktu itu Eropa berada dalam era kegelapan. Apa yang telah dilakukan Al-Razi di masa kekhalifahan Abbasiyah itu kini diterapkan di setiap rumah sakit.

Pemikir Muslim lainnya di masa keemasan Islam yang turut menyumbangkan pemikirannya untuk mengembangkan psikologi adalah Al-Farabi. Ilmuwan termasyhur ini secara khusus menulis risalah terkait psikologi sosial dan berhubungan dengan studi kesadaran. Dari Andalusia, dokter bedah terkemuka, Al-Zahrawi, alias Abulcasis mempelopori bedah syaraf.

Selain itu, Ibnu Zuhr, alias Avenzoar tercatat sebagai psikolog Muslim pertama yang mencetuskan deskripsi tentang penyakit syaraf secara akurat. Ibnu Zuhr juga telah memberi sumbangan yang berarti bagi neuropharmakology modern. Yang tak kalah penting lagi, Ibnu Rusyd atau Averroes -- ilmuwan Muslim termasyhur - telah mencetuskan adanya penyakit Parkinson's.

Ali ibnu Abbas Al-Majusi, psikolog Muslim lainnya di masa kejayaan turut menyumbangkan pemikirannya bagi studi psikologi. Ia merupakan psikolog yang menghubungkan antara peristiwa-peristiwa psikologis tertentu dengan perubahan psikologis dalam tubuh. Ilmuwan besar Muslim lainnya, Ibnu Sina, alias Avicenna dalam kitabnya yang fenomenal Canon of Medicine juga mengupas masalah neuropsikiatri. Ibnu Sina menjelaskan pendapatnya tentang kesadaran diri atau self-awareness.

Sementara itu, Ibnu Al-Haitham alias Alhazen lewat kitabnya yang terkenal Book of Optics dianggap telah menerapkan psikologi eksperimental, yakni psikologi persepsi visual. Dialah ilmuwan pertama yang mengajukan argumen bahwa penglihatan terjadi di otak, dibandingkan di mata. Al-Haitham mengesakan bahwa pengalaman seseorang memiliki efek pada apa yang dilihat dan bagaimana seseorang melihat.

Menurut Al-Haitham, penglihatan dan persepsi adalah subjektif. Al-Haitham juga adalah ilmuwan pertama yang menggabungkan fisika dengan psikologi sehingga terbentuklah psychophysics. Melalui percobaan yang dilakukannya dalam studi psikologi, Al-Haitham banyak mengupas tentang persepsi visual termasuk sensasi, variasi, dalam sensitivitas, sensasi rabaan, persepsi warna, serta persepsi kegelapan.

Sejarawan psikologi, Francis Bacon menyebut Al-Haitham sebagai ilmuwan yang meletakkan dasar-dasar psychophysics dan psikologi eksperimental. Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukannya, Bacon merasa yakin bahwa Al-Haitham adalah sarjana pertama yang berhasil menggabungkan fisika dengan psikologi, dibandingkan Fechner yang baru menulis Elements of Psychophysics pada tahun 1860 M.

Bacon juga mengakui Al-Haitham sebagai pendiri psikologi eksperimental. Dia mencetuskan teori besar itu pada awal abad ke-11 M. Selain itu, dunia juga mengakui Al-Biruni sebagai salah seorang perintis psikologi eksperimental lewat konsep reaksi waktu yang dicetuskannya. Sayangnya, sumbangan yang besar dari para ilmuwan Muslim terhadap studi psikologi itu seakan tak pernah tenggelam ditelan zaman.

Rumah Sakit Jiwa Pertama di Dunia

Umat Muslim di era keemasan kembali membuktikan bahwa Islam adalah pelopor peradaban. Sepuluh abad sebelum masyarakat Barat memiliki rumah sakit jiwa untuk mengobati orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan, umat Muslim di kota Baghdad pada tahun 705 M sudah mendirikannya. Rumah sakit jiwa atau insane asylums mulai didirikan para dokter dan psikolog Islam pada masa kekhalifahan.

Tak lama setelah itu, di awal abad ke-8 M peradaban Muslim di kota Fes juga telah memiliki rumah sakit jiwa. Rumah sakit jiwa juga sudah berdiri di kota Kairo pada tahun 800 M. Setelah itu pada tahun 1270 M, kota Damaskus dan Aleppo juga mulai memiliki rumah sakit jiwa. Rumah sakit jiwa itu dibangun para dokter dan psikolog sebagai tempat untuk merawat pasien yang mengalami beragam gangguan kejiwaan.

Sementara itu, Inggris - negara terkemuka di Eropa -- baru membuka rumah sakit jiwa pada tahun 1831 M. Rumah sakit jiwa pertama di Inggris itu adalah Middlesex County Asylum yang terletak di Hanwell sebelah barat London. Pemerintah Inggris membuka rumah sakit jiwa setelah mendapat desakan dari Middlesex County Court Judges. Setelah itu Inggris mengeluarkan Madhouse Act 1828 M.

Psikolog Muslim di abad ke-10 M, Ahmed ibnu Sahl Al-Balkhi, (850 M - 934 M) telah mencetuskan gangguan atau penyakit yang berhubungan antara pikiran dan badan. Al-Balkhi berkata, ''Jika jiwa sakit, maka tubuh pun tak akan bisa menikmati hidup dan itu bisa menimbulkan penyakit kejiwaan.'' Al-Balkhi mengakui bahwa badan dan jiwa bisa sehat dan bisa pula sakit alias keseimbangan dan ketidakseimbangan. Dia menulis bahwa ketidakseimbangan dalam tubuh dapat menyebabkan demam, sakit kepala, dan rasa sakit di badan. Sedangkan, papar dia, ketidakseimbangan dalam jiwa dapat mencipatakan kemarahan, kegelisahan, kesedihan, dan gejala-gejala yang berhubungan dengan kejiwaan lainnya.

Dia juga mengungkapkan dua macam penyebab depresi. Pertama, kata Al-Balkhi, depresi disebabkan oleh alasan yang diketahui, seperti mengalami kegagalan atau kehilangan. Ini bisa disembuhkan secara psikologis. Kedua, depresi bisa terjadi oleh alasan-alasan yang tak diketahui, kemukinan disebabkan alasan psikologis. Tipe kedua ini bisa disembuhkan melalui pemeriksaan ilmu kedokteran.

Begitulah para pemikir Muslim di era keemasan memberikan begitu banyak sumbangan bagi pengembangan psikologi.

Pemikir Islam dan Psikologi

- Ibnu Sirin: Ilmuwan Muslim ini memberi sumbangan bagi pengembangan psikologi melalui bukunya berjudul a book on dreams and dream interpretation.
- Al-Kindi alias Alkindus: Dialah pemikir Muslim terkemuka yang mengembangkan bentuk-bentuk terapi musik.
- Ali ibn Sahl Rabban Al-Tabari: Dialah ilmuwan yang mengambangkan al-`ilaj al-nafs atau psikoterapi.
- Al-Farabi alias Alpharabius: Inilah pemikir Islam yang mendiskusikan masalah yang berhubungan dengan psikologi sosial dan studi kesadaran. - Ali ibn Abbas al-Majusi: Dia adalah sarjana Muslim yang menjelaskan tentang neuroanatomy dan neurophysiology.
- Abu al-Qasim Al-Zahrawi (Abulcasis): Inilah bapak ilmu bedah modern yang pertamakali menjelaskan bedah syaraf atau neurosurgery.
- Abu Rayhan al-Biruni: Dialah pemikir Islam yang menjelaskan reaksi waktu.
- Ibn Tufail: Inilah sarjana Muslim yang mengantisipasi argumen tabula rasa.
- Abu Al-Qasim Al-Zahrawi (Abulcasis): Inilah bapak ilmu bedah modern yang pertamakali menjelaskan bedah syaraf atau neurosurgery
( heri ruslan )



Read more!-Read more
Dirham dan Dinar Mata Uang di Era Kejayaan Islam
Sumber Republika Kamis, 05 Juni 2008 9:39:00

Peradaban Islam di era keemasan selama berabad-abad menjelma menjadi salah satu kekuatan perekonomian dunia. Tak heran, jika pada masa itu, kekhalifahan Islam sudah memiliki mata uang sendiri bernama dirham (koin perak) dan dinar (koin emas). Dengan menggunakan kedua mata uang itu, perekonomian di dunia Islam tumbuh dengan begitu pesat.

Sejarah penggunaan perak dan emas sebagai alat pertukaran, sejatinya telah berkembang jauh sebelum Islam hadir. Para peneliti sejarah Dirham menemukan fakta bahwa perak sebagai alat tukar sudah digunakan pada zaman Nabi Yusuf AS. Hal itu diungkapkan dalam Alquran, surat Yusuf ayat 20. Dalam surat itu tercantum kata darahima ma'dudatin (beberapa keping perak).

''Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah yakni beberapa dirham saja, dan mereka tidak tertarik hatinya kepada Yusuf,'' (Alquran, surat 12:20). Tiga peneliti jejak dirham yakni MSM Syaifullah, Abdullah David, dan Muhammad Ghoniem dalam tulisannya berjudul Dirham in the Time of Joseph? menuturkan pada masa itu peradaban Mesir Kuno telah menggunakan perak sebagai alat tukar.

Sejarah mencatat, masyarakat Muslim sendiri mengadopsi penggunaan dirham dan dinar dari peradaban Persia yang saat itu dipimpin oleh Raja Sasan bernama Yezdigird III. Bangsa Persia menyebut mata uang koin perak itu dengan sebutan drachm. Umat Islam mulai memiliki dirham dan dinar sebagai alat transaksi dimulai pada era kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab RA.

Meski begitu, Rasululah SAW sudah memprediksikan bahwa manusia akan terlena dan tergila-gila dengan uang. Dalam salah satu hadits, Abu Bakar ibnu Abi Maryam meriwayatkan bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda, ''Masanya akan tiba pada umat manusia, ketika tidak ada apapun yang berguna selain dinar dan dirham.'' (Masnad Imam Ahmad Ibn Hanbal).

Pertama kali umat Islam menggunakan dirham pada tahun 642 M atau satu dasawarsa setelah Rasulullah SAW wafat. Khaifah Umar bin Khattab memutuskan untuk menggantikan drachma dengan dirham. Sedangkan koin dirham pertama kali dicetak umat Islam dicetak pada tahun 651 M pada era kepemimpinan Utsman bin Affan. Dirham pertama itu mencantumkan tulisan bismalah.

Laiknya drachm, dirham berbentuk ceper serta tipis. Diameternya mencapai 29 mm dan beratnya antara 2,9 - 3,0 gram. Dari sisi berat, dirham lebih ringan dari drachm yang mencapai 4 gram. Sejak itulah, tulisan 'bismilah' menjadi salah satu ciri khas koin yang dicetak oleh peradaban Islam.

Selain itu, koin dirham-dinar yang dicetak umat Islam pada masa keemasan mencantumkan nama penguasa atau amir atau khalifah. Fakta sejarah menunjukan bahwa kebenyakan kepingan dirham dan dinar yang dicetak pada masa Khulafa Arrasyidin mencantumkan tahun Hijriyah sebagai penanda waktu koin dirham atau dinar itu dicetak.

Pemerintahan Muslim di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab pun telah menetapkan standar koin dirham dan dinar. Berdasarkan standar yang telah ditetapkan, berat 7 dinar setara dengan 10 dirham. Khalifah Umar bin Khattab pun telah menetapkan standar dinar emas yakni memakai emas dengan kadar 22 karat dengan berat 4,25 gram.

Sedangkan dirham perak haruslah menggunakan perak murni dengan berat 3,0 gram. Keputusan itu telah menjadi ijma ulama pada awal Islam dan pada masa para sahabat dan tabi'in. Sehingga menurut syari'ah, 10 dirham setara dengan 7 dinar emas. Hasil ijma itu menjadi pegangan, sehingga nilai perbandingan dinar dan dirham bisa tetap sesuai.

Namun, pada tahun 64 H/684 M, untuk pertama kalinya nilai dirham berkurang. Hal itu terjadi akibat keputusan 'Ubaid Alih ibn Ziyad untuk mencampurkan logam lain pada dirham. Sepuluh tahun kemudian, di era kepemimpinan Khalifah Abdalmalik, mulai dicetak koin emas berbobot 4,4 gram dengan mencantumkan tulisan 'Dinar'.

Tiga tahun kemudian, kekahlifahan Islam di bawah kepemimpinan Abdalmalik kembali mencetak cetak lagi dinar yang bobotnya berubah menjadi 4,25 gram -- mengikuti standar yang ditetakan Khalifah 'Umar bin Khattab RA. Pada tahun 75 H/695 M, Khalifah Abdalmalik memerintahkan Al-Hajjaj untuk mencetak dirham dan menggunakan standar yang ditetapkan di era Umar bin Khattab.

Koin perak bertulisan 'dirham' itu berbobot 2.975 gram dan berdiameter 25 - 28 mm. Setiap koin yang dicetak pada saat itu bertuliskan kalimat tauhid yakni: ''Allahu ahad, Allahu samad''. Sejak saat itu, dilakukan penghentian penggunaan gambar wujud manusia dan binatang dari mata uang peradaban Islam itu. Sebagai gantinya digunakan huruf-huruf.

Dinar dan dirham lazimnya berbentuk bundar. Selain itu, tulisan yang tercetak pada dua sisi koin emas dan perak itu memiliki tata letak yang melingkar. Pada satu sisi mata koin tercantum kalimat 'tahlil' dan 'tahmid', yaitu:''La ilaha ill'Allah' dan 'Alhamdulillah'. Sedangkan di sisi mata koin sebelahnya tertera nama penguasa (amir) dan tanggal pencetakkan. Selain itu, terdapat suatu kelaziman untuk menuliskan shalawat kepada Rasulullah SAW dan ayat-ayat Alquran dalam koin dirham dan dinar itu.

Mata uang dinar dan dirham pun menjadi mata uang resmi dinmasti maupun kerajaan Islam yang tersebar di berbagai penjuru. Penggunaan dinar dan dirham perlahan mulai menghilang setelah jatuhnya masa kejayaan kekhalifahan Islam. Ketika dunia dilanda era kolonialisme Barat, mulailah diterapkan penggunaan uang kertas.

Sejarah telah membuktikan bahwa emas dan perak merupakan alat tukar paling stabil yang pernah dikenal dunia. Sejak awal sejarah Islam sampai saat ini, nilai dari mata uang Islam yang didasari oleh mata uang bimetal ini secara mengejutkan sangat stabil jika dihubungkan dengan bahan makanan pokok. Nilai inflasi mata uang ini selama 14 abad lamanya adalah nol. Adakah mata uang yang stabil seperti itu saat ini?

Uang Koin di Era Kekhalifahan

* Koin Kekhalifahan Umayyah (661 M - 750 M)
Di awal kekuasaannya, Dinasti Umayyah menggunakan koin perak Sassanin di wilayah Irak dan Iran. Sedangkan, di Suriah dan Mesir kehalifahan Umayyah menggunakan koin emas dan tembaga. Sebagai bagian dari upaya untuk menyatukan wilayah-wilayah yang dikuasainya, Khalifah Abdalmalik bin Marwan (685 M - 705 M) mulai mencetak koin emas pada tahun 961 M.
Di pinggiran koin emas itu tertulis kalimat bismilah dan syahadat. Dua tahun berikutnya, Dinasti Umayyah mencetak koin perak atau dinar. Dalam koin itu tercantum kalimat bismilah. Koin emas pada zaman itu dicetak secara khusus di Damaskus - ibu kota Dinasti Umayyah. Sedangkan, koin perak dan tembaga dicetak di kota-kota yang dikuasai Umayyah. Pada era khalifah selanjutnya, Dinasti Umayyah mencetak dinar yang bernilai setengah dan sepertiga dinar. Ukuran dan beratnya jauh lebih kecil dan ringan dengan uag koin bernilai satu dinar. Setelah menguasai Afrika Utara dan Spanyol - penguasa Umayyah mulai membangun percetakan uang koin di provinsi itu. Khalifah pun bertanggung jawab untuk memastikan kemurnian dan berat koin yang dicetak.

* Koin Kekhalifahan Abbasiyah (750 M - 1258 M)
Ketika kekuasaan kekhalifahan Umayyah jatuh, percetakan koin di Damaskus pun ditutup. Di era awal kekuasaannya, Dinasti Abbasiyah mulai mencetak koin di Kufah - ibu kota pertama Abbasiyah. Khalifah Al-Mansur pun mulai membangun Baghdad dan mendirikan percetakan dirham di kota itu. Koin emas mulai dicetak pada era kekuasaan Khalifah Harun Ar-Rasyid yag naik tahta pada tahun 786 M. Harun mencetak koin emas atas nama gubernur Mesir. Pada masa itu, Abbasiyah memiliki dua tempat percetakan uang, yakni di Baghdad serta di Fustat - Kairo Tua. Percetakan koin di Mesir terbilang produktif. Setiap cetakan koin dari provinsi itu selalu mengatasnamakan gubernur yang didedikasikan bagi khalifah. Khalifah Al-Ma'mun (813 M) yang menggantikan Harun Ar-Rasyid mulai mencetak beragam jenis koin. Dengan cita rasa artistik yang tinggi, Al-Ma'mun memperbaiki tampilan koin. Sehingga koin yang dicetak tampak lebih indah. Apalagi, tulisan yang tertera pada koin menggunakan tulisan indah khas Kufah atau Kufi.

*Koin Andalusia (711 M - 1494 M)
Berbeda dengan wilayah Arab lainnya yang ditaklukkan Islam yang menggunakan koin penguasa sebelumnya, penguasa Islam mencetak khusus koin emas yang baru ketika menguasai Spanyol pada 711 M. Tulisan yang tercantum dalam koin itu adalah huruf latin. Dinar khas Andalusia itu dicetak secara langsung di kota itu. Pada tahun 720 M, koin Arab asli pertama kali masuk ke wilayah itu. Gaya dan tulisan yang tercantum dalam koin itu menandakan bahwa dinar itu berasal dari Arab Afrika Utara yang dicetak setahun sebelumnya.
Muslim di Andalusia juga mulai memakai koin yang bernilai setengah dinar yang dicetak di damaskus pada 719 M. Koin emas terakhir yang dicetak di Andalusia dicetak pada era Nasrid Granada (1238 M - 1492 M).

* Koin Kekhalifahan Fatimiah (909 M - 1171 M)
Tiga khalifah pertama dari Kekhalifahan Fatimiyah yang berkuasa dari tiga ibu kota berbeda yakni, Quayrawan, Al-Mahdiya, dan Sabra-Mansuriyah mencetak koin emas dan perak sesuai dengan kebiasaan ortodok Sunni. Pada tahap awal, dinar yang dicetak Al-Mahdi mengikuti model dan ukuran serta desain yang digunakan Dinasti Aghlabid. Pada tahun 912 M, dinasti itu mulai mencetak dinar yang ringan dan berukuran lebih besar dengan menggunakan tulisan indah Kufi.
Pada tahun 922 M, percetakan uang dipindahkan ke Al-Mahdiyah dan lalu ke Al-Mansuriyah. Khalifah Al-Qa'im pada tahun 934 M mulai mengganti desain dan mulai mengadopsi tulisan indah Kufi. Koin yang bernilai seperempat dinar juga dicetak dinasti itu dari wilayah kekuasaannya di Sicilia. Ciri khas koin Fatimiyah yang beraliran Syiah adalah pernyataan yang mengungkapkan pertaliannya dengan Ali bin Abi Thalib.


Read more!-Read more